Kamis 29 Apr 2021 03:45 WIB

Prancis Susun Undang-Undang Pengawasan Situs Ekstremis

Prancis mengoreksi metode intelijen yang selama ini digunakan negaranya.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP/Thibault Camus
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis berencana memperkuat undang-undang kontra-terorisme, dengan mengizinkan penggunaan algoritma untuk mendeteksi aktivitas di situs ekstremis. Rancangan undang-undang telah diserahkan kepada Presiden Emmanuel Macron dan pemerintahnya pada pertemuan kabinet, Rabu (28/4).

"Sembilan serangan terakhir di tanah Prancis dilakukan orang-orang yang tidak dikenali dinas keamanan, yang tidak ada dalam daftar pantauan dan tidak dicurigai," kata Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, Rabu (28/4).

Peristiwa itu, menurut Darmanin seharusnya membuat Prancis mengoreksi metode intelijen yang selama ini digunakan negaranya. Prancis memberlakukan undang-undang kontra-terorisme pada 2017 untuk menggantikan keadaan darurat yang diumumkan dua tahun sebelumnya, setelah serangan di Paris oleh pelaku bom bunuh diri dan pria bersenjata.

Undang-undang tahun 2017, yang ditinjau setelah empat tahun, memungkinkan badan keamanan menggunakan algoritme untuk memantau aplikasi perpesanan, serta mendukung langkah-langkah pengawasan polisi, seperti kunjungan rumah ke individu yang diduga terkait terorisme dan membatasi pergerakan orang. RUU baru akan membuat tindakan tersebut permanen dan memperluas penggunaan algoritme ke situs web. "Teroris telah mengubah metode komunikasi. Kami memantau saluran telepon yang tidak digunakan lagi oleh siapa pun," ujar Darmanin.

Warga negara Tunisia yang membunuh seorang pegawai polisi di sebuah kota komuter Paris lima hari lalu. Ia disebut menonton video religius yang mengagungkan tindakan jihad sebelum melakukan serangannya.

RUU itu akan memberi badan keamanan lebih banyak kekuatan untuk mengawasi dan membatasi pergerakan individu berisiko tinggi, setelah dibebaskan dari penjara selama dua tahun, bukan satu tahun.

Selain itu, RUU itu memberi hakim wewenang memberlakukan langkah-langkah tindak lanjut, termasuk perawatan psikiatri pada tahanan yang menjalani hukuman setidaknya lima tahun atas pelanggaran terkait terorisme, dalam upaya mengurangi pelanggaran berulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement