Rabu 28 Apr 2021 22:21 WIB

Menggagas Literasi Wakaf di Sekolah

Salah satu kendala pengembangan wakaf di Indonesia karena kurangnya literasi wakaf

Strategi tepat untuk mempromosikan literasi wakaf adalah melalui sekolah. Wakaf harus menjadi kurikulum formal yang diajarkan di sekolah. Setidaknya, kurikulum wakaf bisa mulai diajarkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat.
Foto: istimewa
Strategi tepat untuk mempromosikan literasi wakaf adalah melalui sekolah. Wakaf harus menjadi kurikulum formal yang diajarkan di sekolah. Setidaknya, kurikulum wakaf bisa mulai diajarkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat.

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR-–Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional. Wakaf bisa menjadi sarana strategis untuk mengentaskan kemiskinan dan memeratakan kesejahteraan.

Namun demikian, pengembangan wakaf di Indonesia masih menemui beberapa kendala. Salah satunya masih rendahnya literasi wakaf di kalangan umat Islam. Indeks literasi wakaf nasional masih berada diangka 50.48 persen. Karenanya, diperlukan strategi tepat agar umat Islam semakin mengenal wakaf dengan baik.

Indonesia akan segera mendapatkan bonus demografi. Artinya, penduduk usia muda dan produktif akan jauh lebih banyak daripada penduduk usia tua dan tidak produktif. Momentum ini perlu dimanfaatkan untuk mempromosikan literasi wakaf dengan optimal. 

Strategi tepat untuk mempromosikan literasi wakaf adalah melalui sekolah. Wakaf harus menjadi kurikulum formal yang diajarkan di sekolah. Setidaknya, kurikulum wakaf bisa mulai diajarkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat. 

Mereka inilah yang akan mendominasi demografi penduduk Indonesia pada masa depan. Bisa dibayangkan jika generasi ini telah terinternalisasi literasi wakaf, maka bisa diharapkan terjadi akselerasi gerakan wakaf di Indonesia.

Menggagas literasi wakaf di sekolah bisa menggunakan pendekatan why (mengapa), what (apa), dan how (bagaimana). Pertama, why, mengapa kita perlu berwakaf, Inilah bagian terpenting dari literasi wakaf di sekolah. 

Konten kurikulum wakaf pada bagian ini mesti memunculkan kefahaman dan kesadaran siswa untuk berwakaf. Mengapa saya harus berwakaf, apa manfaatnya bagiku, apa manfaatnya bagi umat Islam dan bangsa. Inilah bagian internalisasi atau induksi literasi wakaf.

Karenanya, diperlukan pula pengembangan sampai merancang strategi dan metode pembelajarannya. Hal ini penting untuk memastikan keselarasan antara rancangan kurikulum dengan aplikasi pembelajarannya. Jangan sampai kurikulum wakaf yang sudah bagus, namun tidak berhasil terinternalisasi karena gagal dalam merancang strategi dan metode pembelajarannya.

Kedua, what, apa saja produk wakaf? Para siswa sudah harus dikenalkan dengan aneka ragam produk wakaf kontemporer. Produk wakaf yang disinergikan dengan ekonomi modern dan perbankan perlu dikenal dan dipahami siswa. 

Literasi wakaf umat Islam terhadap produk wakaf kontemporer masih rendah. Sedikit sekali yang mengenal cash waqf linked sukuk, produk wakaf yang dikombinasikan dengan sukuk negara. Bank wakaf mikro juga perlu masuk dalam kurikulum wakaf, sehingga siswa memiliki pemahaman tentang adanya entitas lembaga keuangan mikro berbasis wakaf. 

Ketiga, how, bagaimana cara berwakaf? Proses internalisasi dan pengenalan produk-produk wakaf yang sudah disampaikan perlu disempurnakan dengan penjelasan bagaimana cara berwakaf? Lewat cara apa saja kita bisa berwakaf. 

Saat ini berwakaf bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik lewat Lembaga Ziswaf, BWI, ataupun Bank-bank Syariah yang menerima wakaf uang. Berbagai platform pembayaran wakaf juga perlu dikenalkan kepada siswa, terlebih dengan karakteristik generasi zilenial yang digital native.

Pertanyaannya kemudian, siapakah yang bertugas menyusun dan mengembangkan kurikulum wakaf di sekolah? Dalam hal ini, Badan Wakaf Indonesia (BWI) bisa berkolaborasi dengan Kementrian Agama (Kemenag) dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). 

BWI berperan sebagai konseptor dari sisi konten kurikulum, sementara Kemenag dan Kemdikbud berperan pada sisi pedagogisnya. Yakni, bagaimana konten kurikulum wakaf yang disusun BWI bisa diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. 

Berapa alokasi jam pelajarannya dalam satu semester, bagaimana rancangan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajarannya (RPP)? Di sinilah ruang kontribusi bagi Kemenag dan Kemdikbud. Bahkan, bisa sampai pada penyusunan buku panduannya. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud dan Kemenag bisa dioptimalkan untuk menjalankan peran ini.

Seyogyanya, tidak sulit untuk merealisasikan gagasan masuknya wakaf dalam kurikulum sekolah sebagai bentuk gerakan literasi wakaf. Hanya diperlukan komitmen dari BWI, Kemenag, dan Kemdikbud untuk membuat payung hukumnya. Bisa dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Peraturan Menteri Agama.

Selanjutnya, BWI dan Puskurbuk bisa menjadi konseptor penyusunan kurikulum wakaf di sekolah. Kurikulum wakaf bisa terus dikembangkan seiring dengan perkembangan wakaf dengan produk-produk wakaf kontemporernya. Artinya, kurikulum wakaf ini menjadi living curriculum, bisa diperbarui sesuai kebutuhan dan perkembangan. 

Dengan demikian, kita berharap indeks literasi wakaf nasional bisa terus naik setiap tahunnya. Harapannya bisa linear dengan peningkatan realisasi penghimpunan wakaf nasional. Pada akhirnya, bisa berkontribusi dalam mendongkrak pembangunan nasional dan pemerataan kesejahteraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement