Senin 26 Apr 2021 23:37 WIB

Konflik Agraria Masih Tinggi, Ini Pemicunya Menurut Praktisi

Kementerian Agraria harus menjadi penengah dalamm konflik agraria

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Kementerian Agraria harus menjadi penengah dalamm konflik agraria. Ilustrasi konflik agraria
Foto: Antara/R. Rekotomo
Kementerian Agraria harus menjadi penengah dalamm konflik agraria. Ilustrasi konflik agraria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Redistribusi aset yang dilakukan pemerintah melalui program reforma agraria ternyata tak mampu mengurangi sengketa agraria. Alih-alih mengurangi, justru konflik agraria di Indonesia semakin meningkat. 

Terus meningkatnya kasus sengketa agraria diakui mantan Sekjen Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), M Noor Marzuki. "Memang dari tahun ke tahun konflik agraria di negeri ini terus meningkat," ujar Noor dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (26/4).  

Baca Juga

Lebih lanjut, pria yang kini menjabat sebagai tim ahli Wakil Presiden ini mengatakan, redistribusi aset yang dijalankan melalui program reforma agraria masih jauh dari ekspektasi. Pasalnya, program tersebut tidak dijalankan secara komprehensif. 

"Beberapa pengamat menyebut bahwa redistribusi aset hanya sebatas bagi-bagi sertifikat. Saya setuju dengan penyataan itu. Karena memang faktanya seperti itu," ucap Noor.  

Seharusnya, kata dia, setelah ada sertifikasi tanah, pemerintah menyediakan sarana dan prasarananya. "Kalau itu tanah perkebunan, ya harusnya disediakan saluran irigasinya dan disediakan pupuk. Dengan begitu akan jadi lahan produktif bagi masyarakat," kata mantan Kepala Pengadaan Tanah Nasional ini. 

Selain itu, menurut Noor, kementerian terkait dalam hal ini ATR/BPN harus fokus menyelesaikan konflik yang terjadi. "Sebenarnya, untuk menyelesaikan konflik tidak rumit kok. Tinggal kita serius apa tidak," jelasnya.  

Dia pun menceritakan pengalamannya dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi antara masyarakat atau petani dengan pihak pabrik kertas. Menurut dia, konflik bersumber dari pihak pabrik yang ingin mengusai lahan. Padahal, sudah bertahun-tahun masyarakat menggarap di lahan tersebut. "Wajar bila masyarakat tidak mau, lalu melakukan perlawanan," ujarnya.  

Untu menyelesaikan konflik itu, Noor Marzuki memanggil kedua belah pihak untuk duduk satu meja. Saat itu solusi yang ditawarkan Noor Marzuki, masyarakat tetap memiliki hak menggarap lahan dan hasilnya dijual ke pabrik kertas. "Itulah solusi yang saya tawarkan. Kedua pihak setuju dan konflik pun berakhir," katanya. 

"Sebenarnya simpel kok menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di masyarakat. Cuma kementerian harus fokus dan serius menyelesaikan konflik. Kalau yang saya lihat saat ini, kementerian terkait seperti membiarkan konflik itu dan mengharapkan konflik selesai di pengadilan," jelasnya.  

Sementara itu, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya 241 kasus konflik agraria terjadi sepanjang Tahun 2020. Total kasus tersebut terjadi di 359 daerah di Indonesia dan berdampak pada 135.332 kepala keluarga. 

Konflik agraria terbanyak terjadi pada sektor perkebunan, yakni 122 kasus. Jumlah konflik agraria tersebut naik sekitar 28 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang hanya 87 kasus.  

Selanjutnya tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Angka ini bahkan meroket 100 persen dari 2019 yang berjumlah sebanyak 20 kasus. 

Konflik agraria lainnya terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus dan agribisnis 2 kasus.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement