Ahad 25 Apr 2021 10:42 WIB

Pencari Suaka: Kita 'Puasa' tak Hanya Saat Ramadhan

Para pencari suaka hanya mengandalkan bantuan orang lain untuk makan.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Senin (5/4). Dalam aksinya mereka menuntut kejelasan untuk mendapatkan suaka di Australia yang merupakan negara ketiga yang akan menampung mereka setelah bertahun-tahun menunggu di Indonesia sebagai negara transit. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Senin (5/4). Dalam aksinya mereka menuntut kejelasan untuk mendapatkan suaka di Australia yang merupakan negara ketiga yang akan menampung mereka setelah bertahun-tahun menunggu di Indonesia sebagai negara transit. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, Sebanyak 10 anak dengan rentang usia sekitar 7 hingga 12 tahun tengah duduk membentuk huruf L. Anak-anak itu terdiri dari enam laki-laki dan empat perempuan. Di hadapan mereka terdapat papan tulis putih dan di sisi kirinya tertempel poster berisi angka 1-50 serta gambar macam-macam sayuran dalam bahasa Inggris.

Kegiatan belajar-mengajar ini tidak dilakukan di gedung sekolah. Melainkan di sebuah bangunan yang juga dijadikan sebagai mushola. Bangunan itu masuk ke dalam area eks Kodim, Kalideres, Jakarta Barat. Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penampungan sementara bagi para imigran pencari suaka.

Dari luar, bangunan mushola itu tampak tidak terawat. Sejumlah papan kayu yang terpasang di langit-langit bangunan itu sudah lepas sehingga menunjukan kerangka baja ringan yang menopang atap.

Bahkan, salah satu lampu yang terpasang di atasnya pun hampir terlepas. Tidak ada daun pintu sebagai akses keluar-masuk bangunan tersebut. Hanya ada terpal berwarna biru tua yang terpasang pada seutas tali sebagai penghalangnya.

Saat itu, anak-anak baru saja selesai mengikuti pembelajaran. Menurut Nuri Tampak, salah satu pengungsi yang juga sekaligus berperan sebagai guru di lokasi itu, kegiatan belajar mengajar dilakukan setiap hari Senin-Jumat dengan durasi selama satu jam. Salah satu pelajaran yang diajarkan adalah Bahasa Inggris.

“Sudah hampir 1,5 tahun ini anak-anak belajar Bahasa Inggris. Alhamdulillah, perlahan mereka sudah mulai paham bahasa asing,” tutur Nuri saat ditemui Republika, Senin (19/4) lalu.

Pria itu mengatakan, tidak hanya anak-anak yang mendapatkan pembelajaran. Namun, orang-orang dewasa yang ingin mempelajari Bahasa Inggris pun diberikan kesempatan, yakni mulai pukul 14.00-15.00 WIB.

Meski bangunan itu digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan shalat, tetapi pengungsi yang tengah beribadah tidak merasa terganggu. Justru mereka tampak senang melihat antusiasme anak-anak mengikuti pembelajaran.

Area eks Kodim Kalideres yang berada di Jalan Bedugul, Jakarta Barat itu terdiri dari tiga bangunan yang dihuni para imigran pencari suaka dan satu bangunan kecil yang dijadikan mushola.

Di tengah lahan yang merupakan milik Pemprov DKI Jakarta itu berdiri bangunan utama dengan dua lantai. Kondisinya tidak berbeda jauh dari bangunan mushola. Beberapa bagian plafonnya sudah rusak.

Kemudian, lorong-lorong di gedung utama itu pun sudah terisi penuh dengan tenda-tenda para pengungsi. Bahkan, di bawah tangga pun terpasang terpal sebagai sekat-sekat tempat tinggal setiap keluarga pengungsi.

Salah satu imigran asal Pakistan, Wahid Ali mengatakan, ada sekitar 210 orang yang bermukim di tempat tersebut. Para imigran itu di antaranya berasal dari Afghanistan, Pakistan, dan Iran.

Wahid, panggilan akrabnya, menyampaikan, hampir delapan tahun ia terlunta-lunta hidup di Jakarta. Berharap adanya kejelasan mengenai kehidupannya serta para imigran lainnya. Sebab, hingga kini, pihak lembaga PBB yang mengurus masalah pengungsian, UNHCR, dinilai telah menelantarkan mereka serta tidak ada kepastian bantuan.

“Saya tiba di Indonesia tahun 2013. Awalnya, saya keluar dari Pakistan tahun 2012, terus sempat mengungsi ke Thailand, Malaysia, baru ke Indonesia dengan menggunakan kapal. Tapi sampai sekarang masih di Indonesia, tidak ada kejelasan,” kata pria berusia 29 tahun itu.

Ia menuturkan, kehidupan mereka di posko pengungsian itu sangat bergantung dengan bantuan dari para donatur maupun masyarakat sekitar. Termasuk untuk memenuhi kebutuhan berbuka dan sahur selama bulan Ramadhan, seperti saat ini.

“Kita malahan puasanya tidak hanya di bulan Ramadhan, tapi 12 bulan. Dalam setahun itu, kita lebih sering puasa, karena kan mau makan saja susah. Hanya mengandalkan bantuan orang, sedangkan kita tidak punya penghasilan karena tidak boleh kerja,” ujar Wahid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement