Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jouron

Erdogan Akhirnya Menyerah pada IMF?

Bisnis | Friday, 23 Apr 2021, 05:21 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang percaya penuh dengan konsep ekonomi ala Erdogan atau Erdoganomics. (Foto: Republika.co.id).

Oleh Elba Damhuri

April 2020, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kembali secara tegas menolak tawaran pinjaman dan bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Melawan arus yang menganggap ekonomi Turki rapuh dan tidak memiliki sumber daya fiskal dan moneter kuat sehingga butuh IMF, tapi Erdogan dengan lantang menyatakan ekonomi Turki tangguh.

Ini bukan kali pertama Erdogan menolak IMF. Saat Turki resesi 2018 sampai 2019, Erdogan bersikap sama: Turki tidak membutuhkan IMF yang hanya menambah beban ekonomi dan mengintervensi terlalu dalam.

IMF sebetulnya berkah buat Erdogan. Kegagalan IMF di Turki pada 2001 membawa Erdogan dan para pendukungnya berkuasa di Turki.

Dari kegagalan IMF di Turki, Erdogan mengingatkan rakyat Turki tentang tahun-tahun sulit setelah adanya kesepakatan dengan IMF, yang ia gambarkan IMF sebagai "hiu pengutang terbesar dunia."

Kini kondisinya tampaknya berbeda. Presiden Erdogan terus mengalami gelombang naik-turun yang hebat dalam memimpin Turki.

Setelah upaya pembunuhan dan kudeta yang gagal pada 2016, disusul resesi ekonomi pada 2018 dengan terjun bebasnya lira, kini Erdogan dan Turki menghadapi arus deras dampak pandemi corona terhadap ekonomi negeri itu.

Ini bukan gelombang serangan biasa. Ekonomi Turki belum sempat bangkit dari resesi hebat akibat akumulasi faktor-faktor ekonomi yang tidak seimbang yang kemudian dihajar pandemi corona.

Turki menghadapi masalah volatilitas nilai tukar lira atas dolar AS dan mata uang lain. Turki juga bersoal dengan komposisi utang luar negeri yang tinggi namun tidak diimbangi dengan kinerja ekspor yang kinclong dan cadangan devisa yang mumpuni.

Turki mencatat inflasi dua digit hingga belasan persen namun tetap menerapkan kebijakan suku bunga rendah untuk industri perbankan dan sektor keuangan. Akibatnya, ketidakpastian makin kuat dan stabilitas sistem keuangan terganggu.

Dari sini, desakan dan pertanyaan itu muncul lagi: apakah kini saatnya Presiden Erdogan bersalaman dengan IMF? Apakah saatnya Turki mendapat kucuran pinjaman dan bailout untuk cadangan devisa bank sentralnya?

Jawabannya tetap sama. Ini mungkin mirip dengan Presiden Sukarno yang menolak bantuan Amerika Serikat dan sekutunya dengan slogan heroiknya: go to the hell with your aids. Erdogan juga bilang: Tidak.

Sikap dan keyakinan Presiden Erdogan tampaknya menjadi modal kuat Turki untuk kembali memperbaiki ekonominya. Termasuk sikap Erdogan yang tidak mau menerima pinjaman dari IMF. Sebuah sikap tegas, berisiko sebenarnya, percaya diri, dan berani.

Erdoganomics dan Krisis Turki

IMF memperkirakan ekonomi turki akan menyusut 5% pada 2020, inflasi menjadi 12%, dan pengangguran mencapai 17,2%. Beberapa prediksi melukiskan gambaran yang lebih suram yang bisa menyentuh 30%.

Lira Turki turun ke rekor terendah pada awal Mei lalu menyentuh 7,49 terhadap dolar AS, lebih buruk dari resesi Agustus 2018 sebesar 7,236. Anjloknya lira Turki ini disebabkan penurunan suku bunga bank dan kekhawatiran investor terhadap cadangan devisa Turki yang semakin menipis.

Secara informal, inflasi di Turki sudah jauh di atas angka resmi. Pemotongan suku bunga berarti bank sentral membuka jalan bagi guncangan baru terhadap mata uang dan menyeret inflasi tinggi, kata ekonom Turki, Seluk Geer.

Cadangan devisa bruto Turki turun dari 81,2 miliar dolar AS pada akhir 2019 menjadi 51,5 miliar pada 30 April 2020. Cadangan devisa mata uang asing bersih Turki sekitar 16,2 miliar dolar AS.

Data ini disampaikan mantan menteri keuangan Mahfi Egilmez. Namun, angka ini termasuk pertukaran mata uang dengan bank domestik. Setelah dikurangi, cadangan mata uang bersih bisa lebih rendah lagi.

Pada resesi 2018 atau Lira Crash, menyebankan inflasi melonjak hingga 25% dan dan pertumbuhan ekonomi Turki turun menjadi 5% dari 7% sebelumnya.

Dampak politiknya, untuk pertama kalinya, pada pemilu lokal, partai berkuasa --Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)-- menderita kekalahan di beberapa kota besar termasuk Istanbul dan Ankara.

Sihir Erdogan selama 17 tahun membesarkan dan menguatkan ekonomi Turki seolah mulai redup. Pemerintah pun memutuskan tidak menggelar pemilihan umum sampai 2023.

Terbaru, Turki menghadapi krisis pandemi corona dengan kasus positif covid-19 di atas 150 ribu orang dan menyebabkan 4.000-an orang meninggal. Aktivitas ekonomi pun sebagian besar tutup.

Banyak kalangan telah meminta agar Turki memulai kerja sama dengan IMF. Setidaknya, IMF bisa menyuntikkan dana talangan untuk memperkuat cadangan devisa Turki yang memang tidak memadai untuk menopang utang, bayar impor, operasi moneter bank sentral, dan menjaga stabilitas lira atas dolar AS.

Namun Erdogan tetap kukuh untuk menolak IMF. Tanpa IMF, Turki optimistis ekonomi akan rebound dan lira semakin menguat. Turki dengan Erdoganomicsnya mengedepankan langkah-langkah taktis untuk menguatkan ekonomi daripada mengundang IMF.

Turki optimistis mampu membukukan pertumbuhan ekonomi 5 persen hingga dua tahun ke depan. Stabilitas lira juga diyakini bisa dijaga dengan berbagai cara termasuk swap mata uang dengan beberapa bank sentral negara lain.

Erdogan pun meluncurkan Paket Perisai Stabilitas Ekonomi dengan memberikan stimulus 15,4 miliar dolar AS (100 miliar lira Turki) pada Maret lalu.

Erdogan juga menunda pembayaran semua kewajiban utang, meringankan pajak, memberikan dorongan daya beli, hingga mengeluarkan kebijakan keringanan pembayaran bunga utang ke perbankan.

Dari paket stimulus ini Turki yakin bisa meredam inflasi dan membuka lapangan kerja untuk menekan tingkat pengangguran. Selepas lockdown (penguncian) pandemi corona, Erdogan optimistis ekonomi bergerak bagus dan tenaga kerja kembali terserap.

Pada Mei, indeks kepercayaan ekonomi Turki meningkat menjadi 61,7. Angka indeks kepercayaan konsumen ini melonjak 20,4% dari 51,3 pada bulan lalu. Turki harus menembus angka 100 indeks konsumen.

Kenaikan dari bulan ke bulan didorong oleh peningkatan indeks konsumen, sektor riil, jasa, perdagangan ritel, dan indeks kepercayaan konstruksi.

Indeks kepercayaan konsumen merupakan indeks berupa angka dari gabungan sektor yang merangkum evaluasi, harapan, dan kecenderungan konsumen dan produsen tentang situasi ekonomi secara umum.

Data ini menunjukkan pandangan optimistis tentang situasi ekonomi Turki ketika indeks di atas 100. Sementara itu, indeks menunjukkan pandangan pesimistis ketika di bawah 100.

Sementara lira Turki, belakangan ini, menunjukkan keperkasaan atas dolar AS. Lira telah membuat "rebound yang mengesankan" --kenaikan terbesar dalam setahun-- setelah mencapai level terendah sepanjang masa di 7,269 per dolar AS.

Lira diprediksi berada pada 6,9 per dolar AS di akhir kuartal kedua 2020 ini. Saat ini, lira Turki sudah menjauhi angka 7 dolar, yakni di posisi 6,76.

Atas indikator-indikator ini, Erdogan tampaknya masih jauh untuk menerima kehadiran IMF kembali ke Turki. Erdogan, AKP, dan Turki masih lebih yakin dengan resep Erdoganomics dibanding resep IMF...

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image