Rabu 21 Apr 2021 11:29 WIB

Bank Digital Harus Sasar Kredit Konsumsi dan Produktif

Dengan basis data yang kuat, porsi pinjaman produktif harus lebih besar dari fintech.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi mobile banking. OJK masih mengkaji aturan bank digital.
Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Ilustrasi mobile banking. OJK masih mengkaji aturan bank digital.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan bank digital menjadi magnet baru industri keuangan. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan belum ada bank digital yang beroperasi secara penuh di Indonesia. 

OJK masih mengkaji aturan bank digital. OJK menjelaskan aturan bank digital masih dalam proses penyusunan untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku industri. 

Baca Juga

Secara umum, OJK akan membagi bank digital menjadi dua jenis. Pertama, entitas baru yang akan beroperasi penuh sebagai bank digital. Kedua, transformasi dari bank konvensional menjadi bank digital.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai sebaiknya bisnis bank digital tidak hanya menyasar consumer loan seperti kredit tanpa agunan (KTA) atau kredit konsumsi sejenis. Adapun langkah ini agar pasar bank digital dapat diperluas ke pemberian pinjaman produktif semisal membiayai usaha rintisan atau startup, pembiayaan sektor pertanian, sektor perikanan, dan industri.

“Karena bank digital punya basis data yang akurat dan manajemen risiko lebih canggih dalam praktiknya seharusnya porsi pinjaman produktif lebih besar dibanding fintech P2P lending atau bank tradisional. Pada tahap awal bank digital yang gampang menyasar segmen kredit konsumsi jangka pendek karena bank digital bisa kerja sama dengan e-commerce,” ujar Ekonom Bhima Yudhistira ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (21/4).

Bhima menjelaskan jika bisnis bank digital pada tahap awal melakukan pinjaman ke kredit konsumsi seperti KTA atau paylater maka kemungkinan bisa secara bertahap menyalurkan kredit kendaraan bermotor dan KPR.

“Berikutnya masuk ke segmen yang prospek jangka panjangnya positif yakni invoice financing sektor perdagangan, industri maupun pertanian,” ucapnya.

Dari sisi modal, Bhima menyarankan modal minimum bank digital diperkecil kurang dari Rp 5 triliun. Adapun langkah ini agar banyak pemain baru masuk ekosistem. 

“Dengan cara itu yang untung adalah persaingan bank lebih efisien, bunga bisa murah. Berikutnya soal trust nasabah dari sisi keamanan sistem dan pencegahan terhadap fraud,” ucapnya.

Sementara Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menambahkan bank digital lebih bermakna ke layanan bank secara digital, artinya tidak membedakan sektor dan nasabah karena semua sektor akan dilayani secara digital.

“Pelayanan juga payment, lending, termasuk juga hal-hal lainnya seperti investment,” ucapnya.

Kendati demikian Piter menyebut OJK perlu mengantisipasinya terutama untuk menjaga kepentingan nasabah. Hal ini mengingat perlindungan data pribadi perlu ditingkatkan oleh otoritas.

“Pemanfaatan teknologi informasi dalam layanan digital harus ditingkatkan. Jangan sampai merugikan nasabah misal perlindungan data pribadi nasabah,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement