Selasa 20 Apr 2021 17:24 WIB

Mufti Agung Yerussalem: Mereka Menyita Makanan Buka Puasa

Ramadhan adalah aliran doa agar para saudara Muslim bisa datang menyelamatkan mereka

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: A.Syalaby Ichsan
entara Israel melintas Kubah Batu di kompleks Masjidil Al Aqsa, ketiga situs suci Islam, saat berkunjung di bawah perlindungan polisi Israel di Kota Tua Yerusalem.
Foto: google.com
entara Israel melintas Kubah Batu di kompleks Masjidil Al Aqsa, ketiga situs suci Islam, saat berkunjung di bawah perlindungan polisi Israel di Kota Tua Yerusalem.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSSALEM --  Ramadhan sebagai bulan yang terkait dengan perdamaian, belas kasihan dan persatuan, tidak cukup untuk menghadirkan ketenangan dari kondisi konflik dan perang bagi banyak Muslim di Palestina.

Ekstremis Yahudi saat ini meningkatkan serangannya, bahkan berupaya menyerbu Masjid Al-Aqsa. Mufti Agung Yerusalem sekaligus Imam Masjid Al Aqsa, Syekh Muhammad Hussein, menyebut mereka telah membuka pintu menara Masjid dan memutus kabel listrik pengeras suara untuk mencegah Adzan.

"Mereka menyita makanan berbuka puasa saat Ramadhan, selain mengancam akan menyerbu Masjid di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan," kata Syekh Hussein dilansir dari Middle East Monitor.

Ramadhan dimaksudkan sebagai waktu ketika umat Islam bersatu dibalik segala perbedaan yang ada. Latar belakang politik dan ideologis seolah menghilang demi persatuan spiritual yang diekspresikan dalam puasa, doa, amal dan kebaikan.

Sayangnya, yang saat ini bisa disaksikan bukanlah Ramadhan seperti yang dimaksudkan, tetapi manifestasi bulan suci yang berbeda dengan masing-masing melayani kelas yang berbeda. Hal ini merupakan ekspresi menyakitkan tapi nyata dari perpecahan dan ketidaksetaraan yang telah menimpa Umat Islam.

Keindahan bulan Ramadhan juga datang di Palestina, Sudan dan Yaman, termasuk kamp pengungsi Suriah dan perahu kecil yang menghiasi Mediterania sembari membawa ribuan keluarga yang putus asa. Mereka menyimpan sedikit harapan akan masa depan yang lebih baik di lintasan cakrawala yang samar.

Bagi mereka, Ramadhan adalah aliran doa agar dunia, terutama saudara-saudara Muslim bisa datang dan menyelamatkan mereka. Bagi mereka, hanya ada hiburan kecil yang bisa dirasakan, mengingat tidak ada listrik maupun pesta buka puasa besar-besaran karena tidak ada uang.

Doa adalah bahasa Arab untuk permohonan. Bagi yang tertindas, doa adalah pilihan terakhir, bahkan terkadang menjadi senjata melawan penindasan dalam segala bentuknya. Inilah sebabnya, mengapa Muslim yang sedang berduka sering melihat mengangkat telapak tangan mereka ke langit setiap kali tragedi menimpa mereka.

Ramadhan adalah bulan di mana orang miskin, melarat dan tertindas mengangkat tangan ke Surga, memohon kepada Tuhan dalam berbagai aksen dan bahasa untuk mendengarkan doa mereka.

Mereka diyakinkan oleh sabda Nabi Muhammad, yaitu, "Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak, yaitu; orang yang berpuasa sewaktu ia berbuka, imam atau pemimpin yang adil, dan doa dari orang yang teraniaya. Doanya itu dinaikkan Allah menembus awan dan dibukakan baginya pintu-pintu langit, serta firman Allah kepadannya, 'Demi kemuliaan-Ku, Aku akan menolongmu, walau di belakang nanti'".

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement