Selasa 20 Apr 2021 06:32 WIB

Perjalanan Ekstrem Melintasi Tujuh Negara Asia

Kami harus lewat jalan darat dengan dana minim, Rp 1,5 juta untuk menempuh 7.750 km.

Berpose di perbatasan Kamboja.
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika

***

Panas menyengat menambah terasa berat perjalanan dari Kota Bangkok menuju Kota Aranyaprathet, kota di perbatasan Kamboja, menyusuri expressway, jalan tol lingkar luar Kota Bangkok. Kota Aranyaprathet merupakan kota di perbatasan Thailand dengan Kamboja. Jaraknya 350 kilometer dari Kota Bangkok.

Hanya satu dalam pikiranku, cari mobil tumpangan. Dua jam berjalan, aku, Cahyo, dan Boy akhirnya berhasil mendapat tumpangan sebuah truk pengangkut ternak yang hendak menuju kawasan Provinsi Sa Kaeo. Tidak sama seperti di Indonesia, jalan tol di Thailand bebas pejalan kaki dan bisa dengan leluasa mencari tumpangan atau menyetop bus.

Dengan bahasa isyarat, karena sebagian besar penduduk Thailand tidak menguasai bahasa Inggris, kami mengutarakan hendak menuju Kota Aranyaprathet yang terletak di ujung timur Provinsi Sa Kaeo.

Malam telah tiba, kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di trotoar pinggir jalan, sambil menunggu tumpangan mobil bak terbuka atau truk yang hendak menuju kota kecil yang menjadi gerbang perbatasan menuju Kamboja. Kami pun menyempatkan menyantap makan malam dengan menu kalajengking dan kecoa goreng yang taburi sambal.

Ilmu bahasa 'Tarzan' kembali kami gunakan saat hendak menumpang sebuah mobil bak terbuka. Namun, kami kecele, ternyata perjalanan yang ditempuh selama satu jam itu tidaklah gratis. Pengemudi meminta bayaran sebesar 10 baht atau sekitar Rp 5.000 per orang.

photo
Tiba di pintu gerbang perbatasan Thailand dengan Kamboja. - (Ist.)
 
 

Kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan melintasi perbatasan. Kami harus mengisi formulir kedatangan/kepergian dari/ke Kamboja. Formulir tersebut digunakan untuk memasuki atau meninggalkan Kamboja saat pemeriksaan paspor di Kantor Imigrasi Thailand yang megah beratap mirip candi berwarna emas.

Sebagai warga Indonesia, kami tidak memerlukan visa untuk memasuki Kamboja karena Indonesia tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Hal yang sama juga saat kami memasuki wilayah Malaysia dan Thailand.

Usai pemeriksaan paspor, kami berjalan sekitar 200 meter menuju Kantor Imigrasi Kamboja. Di wilayah 'tak bertuan' tersebut, kami menyaksikan kehidupan malam yang gemerlap, dengan mobil-mobil mewah sekelas Toyota Camry dan Alphard berlalu-lang tanpa plat nomor. Tidak ada polisi dan peraturan hukum, yang berlaku adalah 'hukum rimba', yang dikuasai para preman.

Tampak satu gedung hotel lima lantai dengan kerlap-kerlip lampu dan dentuman musik diskotik. Hotel tersebut juga menjadi tempat prostitusi dan arena judi. Informasi yang kami peroleh, di tempat tersebut banyak orang Thailand, Singapura, dan Indonesia yang bermain judi di sana. Terdapat pula para wanita pelacur yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Kamboja, dan Vietnam.

Kami disambut gerbang candi yang terbuat dari batu mirip candi-candi di kompleks percandian Angkor Wat, khas Kamboja. Bendera-bendera Kamboja di kiri jalan seakan mengucap selamat datang bagi para pengunjung yang memasuki Kota Poi Pet, kota kecil di perbatasan wilayah Kamboja.

Puluhan calo kendaraan berbaur dengan cepat menghampiri kami untuk menawarkan kendaraan menuju Kota Siem Reap yang merupakan pintu gerbang wilayah Candi Angkor Wat. Terjadi tawar menawar harga dan disepakati 20 bath atau sekitar Rp 10 ribu per orang.

photo
Berpose dengan dua orang backpacker wanita asal Jepang di pintu gerbang Candi Angkor Wat Kamboja. - (Ist.)
 

Tersadar, kantong celana belakang digerayangi seorang pencopet berusia anak-anak, dengan sigap aku menepis tangan pencopet yang hendak mengambil dompetku. Gagal mencopet, anak tersebut berlari memanggil tiga temannya berusia remaja. Dengan terang-terangan, langsung menodongkan sebilah pisau, memaksa meminta dompetku. "Money, money, money," pinta mereka memaksa ke arahku.

Aku berusaha tenang, mencoba berdialog dengan mengatakan tidak memiliki uang banyak dan mengutarakan asal negara serta tujuan perjalanan. "I am an Indonesian from Aceh, peace," ucapku.

"Aceh! Wow, friend, friend. Aceh the marijuana is top. You try, try, This is Aceh marijuana," tutur seorang pencopet yang menawarkan ganja yang sedang diisapnya.

Kemudian, aku menghisap beberapa kali ganja yang diberikan. "Yes, This is Aceh marijuana,' tegasku yang disambut gelak tawa mereka yang akhirnya mempersilakan aku menaiki kendaraan pick-up Toyota Hilux yang menjadi tumpangan kami.

Deru mobil melaju yang bersautan dengan dentuman house musik saut menyahut di ingar-bingar malam di kota kecil perbatasan Kamboja ini. Sepertinya, ada yang aneh dari lajunya mobil yang hanya berputar-putar di tengah kota. Setengah jam berjalan, mobil berhenti di tempat kami semula naik.

Dengan bahasa isyarat, supir mengatakan kalau perjalanan sudah selesai. Sepertinya, kami telah tertipu. Kami pun meminta uang untuk dikembalikan. Supir tetap ngotot dan menerangkan biaya yang kami keluarkan hanya untuk berkeliling kota saja, bukan mobil tujuan ke Kota Siem Reap. Supir mengarahkan kami untuk menaiki mobil sedan Toyota Camry yang menuju Kota Siem Reap.

Sudah ada tiga orang penumpamg di dalam mobil. Setelah disepakati harga 5 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 50 ribu untuk satu orang, kami diberi tempat untuk duduk bertiga di kursi depan samping supir. Sedangkan dua orang kameraman duduk berlima di jok belakang. Mata uang dolar AS dan bath menjadi alat tukar yang diminati dibandingkan mata uang Kamboja, real.

Mobil mewah dengan jendela terbuka lebar melaju mengangkut delapan orang, menembus gerahnya malam dengan jalan yang berdebu. Hembusan angin leluasa masuk ke dalam mobil yang kami tumpangi berhimpitan. Jalan tak beraspal dan penuh lubang mengombang-ambingkan denyut jantung saat mobil melaju cukup kencang. Sesekali mobil berjalan pelan menghindar jalan yang ada papan peringatan tertulis jalan beranjau.

Maklum, Kamboja sebuah negara bekas perang yang masih menyisakan rajau-rajau darat yang ditanam di jalan perbatasan tersebut. Kamboja juga masih terlibat konflik perang dengan Thailand terkait perebutan kawasan zona perbatasan. Kamboja juga pernah terlibat perang dengan Laos dan Vietnam serta mengalami tragedi berdarah saat terlibat perang saudara yang dikenal dengan Killing Field atau ladang pembantaian.

Perang melibatkan kekuatan Partai Komunis Kampuchea atau Khmer Merah dan sekutunya Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara) dan Viet Cong melawan pasukan pemerintah dari Kerajaan Kamboja di bawah kepemimpinan Raja Sihanouk (1955-1970). Perang saudara berlanjut pada masa Pemerintahan Kmer Merah di masa kepemimoinan Lon Nol (1970-1975) dan Pol Pot (1975-1979).

Kamboja berbatasan dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam di timur, dan Teluk Thailand di selatan. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap melintasi negara ini.

photo
Aku menempuh perjalanan mencapai perbatasan Laos dengan Thailand. Berpose bersama biksu di Laos. - (Ist.)

 

 

Matahari mulai menampakkan cahayanya saat kami tiba di Kota Siem Reap setelah menempuh perjalanan enam jam, dengan merasakan perjalanan darat penuh ranjau yang cukup ekstrem. Lalu, kami melanjutkan perjalanan menuju Candi Angkor Wat untuk beristirahat dan sarapan pagi.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement