Senin 19 Apr 2021 05:05 WIB

INDEF: Proyek Bukit Algoritma Berpotensi Mangkrak

INDEF sebut proyek Bukit Algoritma berpotensi mangkrak

Direktur Utama PT AMKA (Persero) Nikolas Agung (kiri), Direktur Utama PT Bintang Raya Dani Handoko (kanan) dan Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO Budiman Sudjatmiko (tengah) berfoto bersama seusai penandatanganan kontrak pekerjaan pengembangan Bukit Algoritma pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pengembangan teknologi dan industri 4.0 Kabupaten Sukabumi di Jakarta, Rabu (7/4/2021). PT Amarta Karya (AMKA) (Persero) dipercaya sebagai mitra infrastruktur Bukit Algoritma pada tahap pertama selama tiga tahun ke depan, dengan nilai total diperkirakan satu miliar euro atau setara Rp18 triliun.
Foto: Aprillio Akbar/ANTARA
Direktur Utama PT AMKA (Persero) Nikolas Agung (kiri), Direktur Utama PT Bintang Raya Dani Handoko (kanan) dan Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO Budiman Sudjatmiko (tengah) berfoto bersama seusai penandatanganan kontrak pekerjaan pengembangan Bukit Algoritma pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pengembangan teknologi dan industri 4.0 Kabupaten Sukabumi di Jakarta, Rabu (7/4/2021). PT Amarta Karya (AMKA) (Persero) dipercaya sebagai mitra infrastruktur Bukit Algoritma pada tahap pertama selama tiga tahun ke depan, dengan nilai total diperkirakan satu miliar euro atau setara Rp18 triliun.

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melihat proyek Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat, berpotensi mangkrak.

Proyek dari pihak swasta tersebut digadang-gadang bakal menjadi kawasan pusat teknologi seperti Silicon Valley di Amerika Serikat.

“Potensial mangkrak atau menjadi (seperti) project bandara komersial yang hanya menjadi bengkel pesawat (Bandara Kertajati),” kata Kepala Center of Innovation and Digital Economy INDEF Nailul Huda dalam diskusi daring, Kamis seperti dikutip Anadolu Agency.

Menurut Huda, terdapat tiga poin utama yang disebut tidak dapat menunjang pembangunan “Silicon Valley” secara inklusif.

Masalah pertama adalah rendahnya ekosistem penelitian dan pengembangan (research and development) di Tanah Air.

Salah satu penyebabnya adalah proporsi dana penelitian dan pengembangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih rendah.

Berdasarkan data UNESCO pada 2021, proporsi dana R&D terhadap PDB di Indonesia hanya 0,24 persen.

Huda juga menyebutkan bahwa inovasi Indonesia masih sangat buruk serta kebijakan insentif fiskal yang tidak optimal.

Masalah kedua, menurut INDEF, terkait dengan sumber daya manusia, di antaranya jumlah peneliti yang masih sangat rendah.

“Indonesia sendiri hanya ada 216 peneliti per 1 juta penduduk. Hasilnya adalah paten kita juga rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,” ucap Huda.

Permasalahan terakhir yakni ketimpangan digital, di mana Huda mengatakan, sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia hanya dinikmati oleh kalangan berada.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, Huda menuturkan, sinyal seluler yang lemah atau tidak ada sinyal masih banyak terjadi di desa luar Pulau Jawa, terutama Maluku dan Papua.

Maka dari itu, Huda pun menyimpulkan, proyek Bukit Algoritma tersebut hanya program pembangunan secara fisik, tetapi tidak mengangkat konteks inovasi.

“Jangan hanya mencontoh kebijakan yang tidak dapat direngkuh saat ini,” ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement