Sanksi Bagi Pelaku Jimak Saat Siang Hari Ramadhan  

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah

Senin 19 Apr 2021 00:00 WIB

Jimak siang Ramadhan termasuk hal yang batalkan puasa. Ilustrasi Hubungan Intim Foto: Republika/Mardiah Jimak siang Ramadhan termasuk hal yang batalkan puasa. Ilustrasi Hubungan Intim

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Ada banyak faktor yang bisa membatalkan puasa, salah satunya berhubungan badan atau jimak. 

Ahmad Zarkasih menjelaskan dalam bukunya berjudul Bekal Ramadhan, walaupun jimak tidak menyebabkan keluarnya air mani tetap membatalkan puasa.  

Baca Juga

Namun, jika jimak dilakukan pada malam hari itu tidak menjadi masalah. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 187:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka...”

Maksud dari ayat tersebut adalah Allah menghalalkan bagi umat Islam untuk melakukan hubungan suami istri pada malam hari Ramadhan. Sebaliknya, jika itu dilakukan pada siang hari Ramadhan hukumnya haram.

Selain itu, siapa pun yang melakukan jimak saat berpuasa baik yang sudah halal atau berzina, sebagian ulama meyakini wajib bagi mereka untuk mengganti puasanya dan membayar kaffarah. 

Sayid Mahadhir mengatakan dalam bukunya berjudul Batalkah Puasa Saya?, di antara kafarat itu berupa memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Ini berdasarkan salah satu hadits Rasulullah saw:

Dari Abi Hurairah RA, seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Celaka aku ya Rasulullah.” “Apa yang membuatmu celaka ?“ “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan.” Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?“ Lelaki itu menjawab, “Aku tidak punya”.  Kemudian Rasulullah bertanya “Apakah kamu sanggup puasa dua bulan berturut-turut ?” Lelaki itu menjawab “Tidak.” Lalu Rasulullah menjawab lagi, “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin ?“ 

- عَن أبي هُرَيْرةَ قالَ : أتَى رجلٌ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ ، فَقالَ : هلَكْتُ ، فَقالَ : ما شأنُكَ ؟ ، قالَ : وقَعتُ على امرأتي في رمضانَ ، قالَ : فَهَل تجدُ ما تُعتقُ رقبةً ؟ ، قالَ : لا ، قالَ : فَهَل تستطيعُ أن تصومَ شَهْرينِ مُتتابعَينِ ؟ ، قالَ : لا ، قالَ : فَهَل تَستطيعُ أن تُطْعِمَ ستِّينَ مسكينًا ؟ ، قالَ : لا ، قالَ : اجلِس ، فأُتِيَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بعَرقٍ فيهِ تمرٌ ، فقالَ : تصدَّق بِهِ ، فقالَ : يا رسولَ اللَّهِ ، ما بينَ لابَتيها أَهْلُ بيتٍ أفقرُ منَّا ، فضحِكَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ حتَّى بدَت ثَناياهُ ، قالَ : فأطعِمهُ إيَّاهُم 

Lelaki itu kembali menjawab tidak dan dia duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, “Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, “Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, “Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Namun, soal siapa yang wajib membayar kafarat apakah pihak lelaki atau keduanya, para ulama berbeda pandangan. Menurut keterangan Imam Al Kasani dari Mazhab Hanafi bahwa selain laki-laki kafarat itu juga berlaku bagi perempuan. Akan tetapi, dalam Mazhab Syafii perempuan tidak wajib membayar kafarat.