Ahad 18 Apr 2021 17:05 WIB

Survei: Kesadaran PNS Soal Kemungkinan Terjadi Korupsi Minim

Hanya 25,5 persen PNS yang sangat atau cukup tahu adanya kemungkinan korupsi.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengetahui terjadinya perilaku korupsi di instansinya bekerja. Riset mendapat kalau 39,2 persen PNS sama sekali tidak mengetahui dan 30,4 persen kurang tahu terjadinya korupsi di instansinya.

"Artinya mayoritas 69,6 persen kurang tahu/sama sekali tidak tahu," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi virtual di Jakarta, Ahad (18/4).

Baca Juga

Sedangkan terdapat 25,5 persen PNS yang sangat atau cukup tahu adanya kemungkinan korupsi di instansinya. Rinciannya, sebanyak 3,1 persen sangat tahu dan 22,4 persen cukup tahu.

Djayadi mengatakan, terdapat empat praktik koruptif tersebut dinilai sedikit atau sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Dia melanjutkan, praktik yang lebih banyak dinilai terjadi adalah PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak dan PNS didekati secara personal untuk sewaktu-waktu diminta bantuan.

"Juga PNS menerima barang untuk melancarkan urusan dan PNS menerima layanan pribadi," katanya.

Survei LSI juga mendapati bahwa kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan.

Sedangkan 34,8 persen responden menilai kalau keberadaan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah.

Sebesar 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Dan 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin.

"Faktor-faktor lain yang dinilai lebih sedikit adalah karena tidak ada ketentuan yang jelas, jarang ada hukuman jika ketahuan, pelaku tidak paham, didukung atasan, persepsi hak PNS dan takut dikucilkan," katanya. 

Survei dilakukan terhadap seluruh PNS di lembaga-lembaga negara di tingkat pusat dan provinsi yang tersebar di 14 provinsi. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari populasi tersebut.

Survei dilakukan pada 3 Januari hingga 31 Maret 2021. Para responden diwawancarai secara tatap muka, baik daring maupun luring, oleh pewawancara yang dilatih. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement