Ahad 18 Apr 2021 00:45 WIB

Bapakku Bukan Perekayasa Politik

Rekayasa macam mana yang membuat rombongan Cak Imien sujud syukur di MA?

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Foto: DPP PKB
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Oleh : Alissa Wahid, Putri KH Abdurahman Wahid (Gus Dur)

REPUBLIKA.CO.ID, -- Senin malam, 25 Pebruari 2012, saya membaca mention di Twitter tentang berita Cak Imin yang akan mendirikan monumen Gus Dur di Singkawang, Kalimantan. Kota yang banyak dihuni saudara sebangsa berdarah Tionghoa, yang tentu saja sangat menghormati Gus Dur.

Walau saya mempertanyakan apakah kiranya sebagai orang yang substantif dan tidak suka seremoni, Bapak suka dibuatkan monumen; bukan soal itu yang mengganggu batin saya. Sudah beberapa waktu terakhir ini, saya ingin menulis tentang Bapak dan konflik PKB cak Imin dari kacamata saya sebagai anak. 

Tulisan ini adalah kegelisahan saya atas narasi yang semakin sering saya dengar dari mulut dan tulisan orang-orang PKB Cak Imin.

Pertama kali, saya mendengarnya langsung dari seorang politisi PKB Cak Imin, saat ia meminta saya untuk menjembatani PKB Cak Imin dengan keluarga Ciganjur. Sebelumnya, saya sudah beberapa kali didekati untuk menjadi jembatan ishlah, tetapi narasi ini belum pernah saya dengar.

 

Sejak itu, saya mulai banyak mendengarnya dari orang-orang lain dari berbagai penjuru, baik langsung dari mulut mereka maupun via social-media, baik dari kawan-kawan Nahdliyin maupun dari aktivis PKB Cak Imin. 

Narasinya sederhana: Konflik antara Gus Dur dan cak Imin adalah konflik yang sengaja didesain oleh Gus Dur, sebagai strategi politik; bukan sebuah konflik sungguhan dan karenanya sejatinya tidak ada persoalan antara Gus Dur dan Cak Imin.

Bahkan ada beberapa orang yang menyebutkan dengan gagah berani langsung kepada saya, bahwa Cak Imin sampai saat ini hanya menjalankan perintah Gus Dur.

Karena saya bukan politisi, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya secara politis juga. Saya hanya menjadi amat gelisah sebagai seorang anak, yang mendampingi Bapak secara intensif selama tiga tahun terakhir kehidupan Beliau. Hari-hari bersama yang membuat saya memahami beban nurani Bapak soal konflik PKB.

Saya melihat sendiri, bagaimana sikap Bapak ketika Cak Imin datang ke rumah bersama mbak Rustini, istrinya. Bapak hanya menjawab pertanyaan mbak Rustini dan mendiamkan Cak Imin. Ini terulang di banyak ketika lain.

Bapak, misalnya, enggan menemui Lukman Eddy yang sudah sampai di Ciganjur. Tidak mau menemui. Sebagai orang yang blak-blakan dan mengingat bagaimana Gus Dur bersikap bahkan kepada “musuh-musuh” politiknya, respons Bapak saat itu, amat sangat jelas: tidak suka bertemu dengan mereka.

Tahun 2008, saat proses hukum PKB Gus Dur versus PKB Cak Imin, Bapak pernah mengalami stroke ringan, entah ke berapa sejak stroke hebat tahun ‘98. Bapak terjatuh saat dituntun ke kamar mandi oleh Sulaiman di kantor Gus Dur di pojok PBNU.

Saat saya tanya apa yang terjadi persis sebelumnya, Sulaiman bercerita bahwa Bapak sedang mendengarkan berita di TV tentang sidang di PTUN. Ada beberapa orang PKB Cak Imin yang diinterview oleh media, dan mereka blak-blakan bicara lebih senang Gus Dur tidak di PKB.

Mendengar jawabannya, Bapak berkomentar “orang-orang ini saya yang bawa masuk politik. Kok tega ya mereka ngomongnya begitu tentang saya, Man?” Lalu Bapak minta diantar ke kamar mandi, dan jatuh pingsan di depan pintu kamar mandi. Kata dokter, stroke ringan akibat stres.

Puncaknya tentu saja ketika MA memutuskan gugatan PKB GusDur ditolak, dan MA menyatakan PKB yang sah adalah PKB hasil Muktamar Semarang di mana Ketum adalah Cak Imin dan Ketua Dewan Syuro adalah Bapak.

Setelah keputusan itu, nyatanya PKB Cak Imin tetap berkantor di Menteng, tidak di kantor asli PKB yaitu di Kalibata tempat Gus Dur selalu datang. Setiap keputusan juga diambil sendiri, tidak melibatkan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro.

Puncaknya di pendaftaran DCS Pemilu 2009 yang dibuat sendiri oleh cak Imin dan pengurusnya. Drastis menurunnya kesehatan Bapak setelah itu, sangat kami rasakan di Ciganjur. Sehebat apapun fisik Beliau sepanjang hidupnya, seperti kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tekanan psikologis yang hebat ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement