Sabtu 17 Apr 2021 20:35 WIB

Minyak Jelantah Bisa Penuhi 32 Persen Kebutuhan Biodiesel

Biodisel berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar.

Seorang pekerja mengumpulkan minyak jelantah yang diperoleh dari sejumlah hotel dan restoran di Bali untuk diproses menjadi bahan bakar minyak (BBM) biosolar di Denpasar, Bali, Selasa (11/11).
Foto: Antara
Seorang pekerja mengumpulkan minyak jelantah yang diperoleh dari sejumlah hotel dan restoran di Bali untuk diproses menjadi bahan bakar minyak (BBM) biosolar di Denpasar, Bali, Selasa (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat Indonesia termasuk salah satu negara pengguna minyak sawit terbanyak di dunia. Konsumsi minyak sawit Indonesia mencapai yakni 16,2 juta kiloliter per tahun.

Dengan konsumsi sebanyak ini, ada potensi minyak jelantah 3 juta kiloliter untuk memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional."Potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional," kata Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto.

Baca Juga

Hudha menjelaskan ada dua prinsip utama yang harus dipenuhi apabila menjadikan jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Pertama, kualitas minyak jelantah harus mencapai standar spesifikasi biodiesel. Kedua, punya nilai keekonomian tinggi dan dapat diimplementasikan.

Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menuturkan keberadaan minyak jelantah sebagai bahan bakar biodiesel memberikan dampak positif bagi lingkungan dan kesehatan."Minyak jelantah yang dibuang sembarangan akan berpengaruh langsung terhadap lingkungan hidup," kata Ricky.

Dia menambahkan bahwa penggunaan biodiesel dari minyak jelantah akan menekan jumlah emisi karbon. Selain itu, pemanfaatan minyak jelantah juga mampu menghemat biaya hingga 35 persen ketimbang biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan dari buah kelapa sawit.

Berdasarkan analisa Kementerian ESDM, biodisel berpotensi mengurangi 91,7 persen emisi karbon dibandingkan solar. Dengan begitu, bahan bakar jenis ini dinilai lebih ramah ketimbang energi fosil.

"Jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon," kata Ricky.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement