Sabtu 17 Apr 2021 20:10 WIB

Ahli: Vaksin Nusantara Bisa Picu Kontaminasi Bakteri Lain

Respons dari sel dendritik, teknologi di vaksin Nusantara sangat individual.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Dwi Murdaningsih
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Rapat tersebut membahas tentang dukungan pemerintah terhadap pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaskin Nusantara yang digagas Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kembali menuai kritik.

Dosen dan peneliti vaksin FKUI Soedjatmiko menilai, vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik tersebut sangat berisiko memicu kontaminasi bakteri lain.

Baca Juga

Mengapa berisiko? Soedjatmiko menjelaskan bahwa vaksin Nusantara dibuat dengan mengeluarkan sel dendritik dari dalam tubuh dengan mengambil darah orang yang akan divaksin, kemudian memasukkannya lagi. Selain ongkos produksinya mahal, metode tersebut tidak efektif dan berisiko.

"Bayangkan untuk membuat vaksin bagi puluhan juta penduduk Indonesia, maka semua penduduk harus diambil darahnya. Apa mungkin? Lalu itu juga harus diproses di laboratorium dan petugas khusus, tidak bisa oleh petugas lab biasa. Apakah bisa? Berisiko terjadi kontaminasi bakteri lain," kata Soedjatmiko dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Sabtu (17/4).

Tak hanya itu, setelah disuntikkan kembali, respons dari sel dendritik juga sangat individual. Berdasar pengalaman untuk kanker, hasilnya berbeda-beda bagi setiap orang.

Soedjatmiko juga menyinggung ihwal subjek penelitian dan uji klinis yang ideal dalam pembuatan vaksin. Soedjatmiko menjelaskan bahwa subjek penelitian harus memenuhi syarat antara lain belum pernah terinfeksi Covid-19, belum punya kekebalan terhadap Covid-19 dan belum pernah vaksinasi Covid sebelumnya. Jika salah satu tidak terpenuhi, hasilnya tidak bisa dinilai.

Sementara uji klinik bertujuan membuktikan bahwa vaksin aman dan efektif. Karena itulah, jumlah subjek penelitian harus banyak supaya bisa dianalisis secara statistik.

"Subjek penelitian untuk fase satu sekitar 50-100 orang, fase dua sekitar 100- 500 orang, dan fase tiga harus ribuan," jelas Soedjatmiko.

Dia juga menekankan bahwa setiap fase dalam uji klinik harus dilakukan secara benar. Jika uji klinik fase pertama belum terbukti aman dan belum ada bukti meningkatkan kekebalan, dengan analisis statistik, maka uji klinik belum bisa dilanjutkan ke fase 2 dan seterusnya.

Karenanya dia menegaskan bahwa klaim vaksin nusantara bisa merangsang kekebalan seumur hidup masih terlalu dini. Klaim tersebut harus dibuktikan setelah selesai uji klinik fase 3 dan monitoring selama beberapa bulan atau tahun.

"Lagipula Vaksin Nusantara bukan asli Nusantara. Ide dan bahannya semua dari Amerika," tegas dia.

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 71,4 persen relawan uji klinis fase pertama vaksin nusantara mengalami Kejadian Tak Diinginkan (KTD), berupa nyeri otot hingga gatal-gatal.

"Sebanyak 20 dari 28 subjek penelitian (71,4 persen) mengalami kejadian yang tidak diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," demikian pernyataan BPOM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement