Sabtu 17 Apr 2021 04:52 WIB

Kota Imigran: Kawasan Ini Popular Bagi Pendatang Australia

Kota Imigran: Kawasan Ini Popular Bagi Pendatang Australia

Rep: Samuel Yang/ Red:
Kota Imigran: Kawasan Ini Popular Bagi Pendatang Australia
Kota Imigran: Kawasan Ini Popular Bagi Pendatang Australia

By Samuel Yang

阅读 中文 版本Dalam Bahasa Inggris

 
 
 
 
 

Klik di sini untuk membaca ceritanya dalam format original.

 

“Apakah saya akan baik-baik saja di Australia? Apakah saya akan mampu belajar bahasa Inggris, mencari teman, dan berbaur dengan warganya?"

Ini adalah pertanyaan yang diajukan Zinah al-Haidari kepada dirinya sendiri. Zinah adalah pencari suaka asal Irak yang pindah bersama keluarganya ke Liverpool, negara bagian New South Wales, Australia. Kawasan ini memang dikenal terbuka bagi para pendatang.

 
 

"Karena saya berasal dari umat beragama minoritas di Irak [Mandaean], saya dan keluarganya yang mengalami diskriminasi dan rasisme," ujar mahasiswi berusia 23 tahun ini.

Zinah dan keluargnya pernah menunggu di Yordania, yang bersebelahan dengan Irak, selama dua tahun setelah meminta bantuan dari PBB untuk dipindahkan ke negara barat. Kemudian pada 1 April 2013 ia menerima telepon dari Kedutaan Australia.

"saya tadinya pikir itu telepon main-main, saya tak mempercayainya," kata Zinah.

Bagi orang yang bukan berasal dari Sydney atau Australia, ketika mendengar kota Liverpool, mereka pikir adalah kota di Inggris, tempat kelompok musik The Beatles berasal.

Tapi Liverpool adalah sebuah kawasan, atau 'suburb' di kota Sydney, sekitar 27 kilometer ke arah barat dari pusat kota.

 
 

Dengan lebih dari 120 suku kebangsaan dan 140 bahasa yang digunakan, Liverpool adalah salah satu daerah yang paling beragam secara budaya di Australia. Setengah dari penduduknya lahir di luar negeri, atau dibesarkan di negara-negara seperti Irak, Vietnam, Fiji, India, atau Libanon.

 
 

Kawasan ini juga menjadi salah satu daerah pemukiman tertua di Australia yang telah menjadi tuan rumah bagi banyak acara-acara ternama, seperti Australian Speedcar Grand Prix di tahun 1970-an dan 1980-an.

 
 

Dilihat dari jumlahnya, Liverpool juga termasuk salah satu yang memiliki paling banyak warga baru, dengan kebanyakan warga Iraq dan Suriah yang tiba setelah perang di Irak di tahun 2003, gelombang 'Arab Spring' serta perang Suriah. 

'Tanah dengan banyak kesempatan'

 
 

Zinah mengatakan keluarganya tinggal di Liverpool agar bisa dekat dengan saudaranya yang sudah ada di sana lebih dulu. 

Ketika ia sudah berusia 17 tahun dan selesai dari bangku SMA, ia kemudian kuliah di bidang pekerjaan sosial.

“Di Liverpool kita punya kesempatan bertemu dengan orang dari latar belakang berbeda, sangat menarik bagi para pencari suaka dan pendatang, jadi kita tidak merasa sendirian atau terisolasi ... juga membuat proses transisi lebih mudah dan saya merasa jadi bagian dari komunitas ini."

 
 

Seak Ay Lam adalah warga pendatang lain yang menemukan kedamaian tinggal di Liverpool.

Ia telah tinggal di Australia hampir tiga puluh tahun setelah keluarganya keluar dari Kamboja di bawah rezim brutal Khmer Merah di awal tahun 1980-an sebagai pengungsi saat ia berusia 17 tahun.

Dengan keluarga beranggotakan 14 orang, termasuk sembilan anak-anak dan tiga kakek nenek, yang tinggal di sebuah hostel khusus migran yang dibangun oleh Pemerintah di sebelah barat Sydney.

"Saat itu tidak banyak orang Kamboja … untungnya sepupu ayah saya tinggal di sini. Setiap kali dia datang mengunjungi kami, ia menceritakan soal Australia."

 
 

Seak mengambil kursus bahasa Inggris di tingkat TAFE sambil bekerja di pabrik plastik. Ia memperhatikan kawasan barat Sydney juga banyak memiliki pekerjaan manufaktur. 

Seak bekerja setiap hari dalam seminggu di kawasan Liverpool,, Fairfield, Cabramatta dan pusat kota Sydney, sebagai juru ketik untuk kantor pemerintahan, pekerja di pertanian dengan gaji AU$50, dan lainnya.

 
 

“Mengantarkan koran sangat menantang, saya khawatir anjing akan mengejar kami, orang-orang berteriak menyumpahi kami, tapi kakak saya bilang, 'jangan khawatir, bilang saja terima kasih'."

Kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. 22 tahun lalu, ia dan suaminya membeli sebuah toko kecil di Liverpool, kemudian berjualan barang-barang dari kulit.

"Kemana pun kita melihat, Liverpool punya banyak orang yang berbeda-beda," ujarnya.

'Kita telah banyak berubah'

 
 

Liverpool adalah salah satu kawasan di Australia yang mengalami pertumbuhan cepat. Ini terlihat dari pembangunan signifikan properti dan infrastrukturnya, termasuk bandara Western Sydney yang bernilai miliaran dolar.

Populasinya sekitar 225.000 orang,  tapi diperkirakan akan naik dua kali lipat dalam 20 tahun mendatang.

 
 

Sejarawan lokal Glen op den Brouw, pernah jadi presiden City of Liverpool dan District Historical Society. Ia lahir dan dibesarkan di Liverpool, setelah keluarganya pindah dari Belanda di tahun 1950-an. 

 
 

Glen yang kini berusia 27 tahun mengatakan Liverpool tidak memiliki keberagaman sebelumnya.

“Hingga tahun 50an warga kita masih kebanyakan kulit putih seperti di daerah lainnya di Australia," ujarnya.

Klan Cabrogal dari suku Darug adalah suku tradisional di tanah yang kini disebut Liverpool.  Anggota suku ini masih aktif, meski mereka menikah atau berasilimiasi dengan orang lain menjadi komunitas besar yang berkembang.

Pemerintahan lokal Liverpool, atau sebutannya Liverpool City Council juga mengakui jika tanah yang mereka tinggali pernah digunakan oleh suku Dharawal dan Dharuk. 

 
 

Glen mengatakan pertumbuhan populasi modern di Liverpool juga disebabkan karena keberagaman dari para pendatang dan pencari suaka yang mencoba keluar dari masalah di negara asal mereka.

“Setiap dekadenya kita punya gelombang migrasi dari kawasan dunia yang berbeda. Mereka membawa keberagaman budaya ke sini, toko-toko, restoran Mannoush [pizza]."

Tapi ada kekhawatiran jika perubahan cepat ini akan berdampak pada sejarah dan karakter dari kota tua ini, yang pernah menjadi debat di Facebook, saat sebuah gedung yang dibangun di tahun 1920- dihancurkan pada tahun 2017 dan hanya disisakan sebagian dindingnya saja.

 
 

"Masih bisa ada yang diperbaiki, kita bisa melakukannya lebih baik … kita harus menjaga keseimbangan antara melindungi masa lalu dan melihat ke depan," katanya. 

“Kita selalu skeptis jika kita bisa menjaga tradisi Australia."

 
 

Sementara itu Chika Isaac, seorang pendatang dari Nigeria yang juga memiliki salon kecantikan, mengatakan populasi dan urbanisasi di Liverpool menciptakan kesempatan yang baik untuk bisnis.

 
 

Ia sudah punya bisnis di Newtown sebelumnya, lalu setelah melihat kesempatan yang ada di Liverpool, ia pun kemudian mengembangkan bisnisnya dengan membuka salon keduanya di sana. 

“Liverpool adalah kawasan yang sibuk dan sangat beragam … Saya punya pelanggan dari berbagai latar belakang, dari Afrika, Asia, orang kulit putih," ujarnya kepada ABC.

 
 

“Liverpool adalah kota yang berkembang dan akan jadi pusat kota ketiga setelah Sydney dan Paramatta, dengan bandara baru dan berencana mengubah kawasan industri Moorebank."

“Semakin tempat ini dibangun, orang semakin senang, makin banyak potensi bisnis yang ada." 

'Selalu merasa seperti rumah'

Seperti sejumlah kawasan lainnya di Australia, Liverpool juga punya tantangan: tingkat kejahatan yang tinggi, kemacetan, serta pengangguran di kalangan anak mudanya.

 

Beberapa pihak tidak yakin jika daya tarik wilayah ini untuk migran akan semakin berkurang.

"Namun saat ini dengan gelar pun, anak-anak muda pun masih kesulitan dapat pekerjaan."

 
 

Ia juga mengatakan meski bisnisnya tidak berjalan baik, karena dampak pandemi dan makin banyaknya orang berbelanja online, ia merasa dirinya beruntung.

“Pemerintah membawa kami ke sini dan menyediakan semuanya, kita mengapresiasi apa yang sudah dilakukan."

Sementara bagi Zinah, tempat ini menjadi permulaan babak baru kehidupannya.

 
 

Ia baru menyelesaikan kuliahnya di bidang pekerjaan sosial dan mendapat pekerjaan paruh waktu untuk bekerja dengan anak-anak muda.

“Saya selalu merasa Liverpool sebagai rumah bagi saya."

Read in Chinese: 阅读中文版本 or Bahasa Indonesia: Baca dalam Bahasa Indonesia

 

Credits

  • Tulisan & Fotograpi: Samuel Yang
  • Fotografi tambahan: Glen op den Brouw, Ed Jonker, Bruce Harris, Ian Kerr Collection, & others
  • Laporan tambahan: Shamsiya Hussainpoor
  • Produksi digital: Steven Viney
  • Penerjemah: Erwin Renaldi

ABC meluncurkan sebuah biro 'pop-up' di Liverpool, sebelah barat kota Sydney untuk lebih memahami launched a pop-up bureau in the Western suburb of Liverpool to immerse itself better within the local community. This story was news-gathered and created as part of that project.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement