Jumat 16 Apr 2021 12:52 WIB

Musibah NTT dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

Bencana NTT diduga dipicu pemanasan global yang berefek perubahan iklim.

Petugas BMKG menunjukkan area pergerakan badai Siklon Tropis Cempaka di Laboratorium BMKG Kemayoran, Jakarta, Rabu (29/11).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Petugas BMKG menunjukkan area pergerakan badai Siklon Tropis Cempaka di Laboratorium BMKG Kemayoran, Jakarta, Rabu (29/11).

Oleh : Dwi Murdaningsih. Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Musibah banjir bandang dipicu siklon tropis Seroja terjadi di Nusa Tenggara Timur  (NTT), Ahad, 4 April 2021.  Total korban jiwa akibat siklon Seroja yang menerjang pekan lalu sebanyak 181 jiwa (data Rabu 14 April).

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan musibah yang melanda NTT disebabkan oleh cuaca ekstrem. Selama lima hari dari 30 Maret hingga 4 April, cuaca di wilayah itu memang sangat tidak bersahabat.
 
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, peristiwa ini adalah pertama kali badai siklon berdampak bencana. Biasanya badai siklon di Indonesia tidak sampai ke daratan, hanya terjadi di laut.
 
Menurut analisis, siklon tropis terjadi mungkin saja karena adanya pemanasan global. Meski baru hipotesis sementara, ada hubungan erat antara meningkatnya suhu air laut dan peristiwa bencana ini. 
 
Suhu muka air laut di wilayah perairan tersebut tercatat mencapai 30 derajat Celsius dari yang semestinya rata-rata sekitar 26 derajat Celsius.
 
Meski hubungan pemanasan global dan musibah NTT masih hipotesis, tidak ada salahnya bagi kita untuk lebih menyadari bahaya pemanasa global. Butuh edukasi terus-menerus untuk menyadarkan masyarakat betapa bahayanya pemanasan global.
 
Pemanasan global merupakan salah satu bagian dari perubahan iklim. Sebagai catatan, 2020 adalah tahun terpanas sepanjang sejarah.
 
 
Butuh waktu bertahun-tahun dan langkah yang tidak sedikit untuk menurunkan kembali jika suhu bumi sudah telanjur naik. Dan, butuh upaya keras untuk menjaga suhu bumi agar tidak naik.
 
Apa sih dampak nyatanya?
 
Dampak nyata perubahan iklim adalah semakin sering terjadi cuaca ekstrem. BMKG mencatat sejak 2008 tercatat ada 10 kejadian siklon tropis di Indonesia. Siklon tropis terjadi sekali pada 2008 dan kemudian terjadi lagi pada 2010 dan 2014. Namun,  siklon tropis selalu terjadi setiap tahun sejak 2017. Rentang waktu kejadian semakin pendek.
 
BMKG juga mencatat rentang internval kekeringan panjang akibat dampak El Nino dan musim hujan basah yang panjang dampak La Nina kini semakin pendek. Fenomena itu pada periode 1950-1980 terjadi setiap 5-7 tahun. Namun, setelah 1981-2019, periode ulang La Nina dan El Nino semakin pendek menjadi 2-3 tahun. 
 
Selain kejadian bencana, perubahan iklim juga berdampak pada ekonomi. 
Sebagai contoh, jika kekeringan terjadi semakin sering, tentu akan sulit bagi tumbuhan untuk terus hidup. Jika tumbuhan sulit hidup, bagaimana manusia akan memenuhi kebutuhan pangan? Krisis pangan akan di depan mata. 
 
Krisis pangan yang terjadi bisa memicu krisis-krisis yang lain. Krisis kriminalitas hingga krisis kemanusiaan. Kita tahu bahwa pangan adalah salah satu faktor yang bisa memicu perang antarnegara.
 
 
Kita bisa melihat bahwa saat pandemi begini, semua negara 'berebut' vaksin. Negara-negara kaya bisa mendapatkan akses lebih banyak untuk mendapatkan vaksin yang jumlahnya terbatas. Sementara itu, negara-negara miskin hanya mendapat akses vaksin yang sedikit sekali. Untungnya, ada inisiatif global untuk menjembatani gap akses tersebut.
 
Ini baru vaksin, bayangkan jika suatu hari karena krisis iklim persediaan pangan dunia menjadi terbatas dan semua negara berebut mendapatkannya. Harga pangan mungkin akan semakin mahal, butuh effort lebih untuk mendapatkannya.
 
Untuk mencegah hal itu, kita semua harus berubah. Kita sebagai individu, dan negara, bahkan dunia dalam lingkup yang lebih luas harus berubah. Dalam lingkup negara, caranya adalah dengan mulai dari pembangunan yang bersih emisi sehingga bisa mencegah perubahan iklim. 
 
Jika sekarang masih menggunakan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon tinggi, perlahan harus beralih pada pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, juga untuk melakukan penanaman hutan dalam skala yang besar.
 
Sebagai individu kita juga bisa turut andil. Misalnya, dengan naik kendaraan umum sehingga bisa berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon. Kita juga bisa memulai dengan meminimalkan sampah makanan. Sebab, sektor pertanian menyumbang seperempat emisi gas rumah kaca, tapi tidak semua yang dihasilkan sektor pertanian benar-benar dimakan, atau hanya menjadi sampah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement