Kamis 15 Apr 2021 19:27 WIB

Pakar: Konten dari Pengguna Jadi Tantangan Pers Era Digital

UGC bisa dimanfaatkan menyerang orang lain dalam tulisan dengan format mirip berita.

[Ilustrasi Pers] Salah satu tantangan yang dihadapi pers dalam dunia digital adalah user generated content (UGC) atau konten dari pengguna.
Foto: MgIT03
[Ilustrasi Pers] Salah satu tantangan yang dihadapi pers dalam dunia digital adalah user generated content (UGC) atau konten dari pengguna.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh media dan Wakil Ketua Dewan Pers 2010-2013 Bambang Harymurti mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi pers dalam dunia digital adalah user generated content (UGC) atau konten dari pengguna. "User generated content, kalau di online itu sering kali masalahnya bukan dari pemberitaannya tapi komentarnya dari publik," kata Bambang dalam diskusi fenomena dunia digital dalam kacamata UU Pers dan kode etik jurnalistik, dipantau dari Jakarta pada Kamis (15/4).

Dia mengandaikan praktik tersebut sebagai pemilik tembok yang propertinya dilukis grafiti oleh orang tidak dikenal. Yakni, sang pemilik platform memiliki tanggung jawab tapi memiliki keterbatasan dalam mengatur dan mengkurasi komentar yang ada di situsnya.

Baca Juga

Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Aris Zulkifli juga menyoroti salah satu tantangan pers dalam era digital termasuk situs berstatus sebagai UGC yang memuat tulisan pengguna, bukan wartawan. "User generated content adalah sebuah praktik di mana user atau pembaca atau pemirsa memproduksi berita sendiri yang dimasukkan ke dalam media yang dia baca. Kemudian digiling dalam sebuah sistem algoritma sehingga meningkatkan trafik," kata Aris.

Dia memberi contoh bagaimana beberapa media besar Indonesia memiliki situs di mana pembaca dapat menulis konten dan mempublikasikan karya mereka. Wadah yang semula dimaksudkan untuk menjadi tempat diskusi, banyak dimanfaatkan untuk menyerang orang lain dalam sebuah tulisan dengan format mirip berita.

Dalam diskusi yang sama ahli hukum pers dan konsultan ahli pers dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wina Armada mengatakan tidak semua media sosial atau digital dapat menjadi pers. Hal itu penting dalam menimbang kasus yang dapat dimediasi oleh Dewan Pers.

"Kalau kita nanti mau menimbang apakah dia termasuk pers atau bukan maka unsur dari peranan harus menjadi salah satu pertimbangan, tidak bisa sembarangan," kata Wina.

Karena itu pers memiliki kewajiban seperti mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi, menghormati berbagai norma, menghormati asas praduga tak bersalah dan memiliki hak jawab serta hak koreksi. Beberapa dari hal itu, kata Wina, tidak dimiliki oleh media sosial.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement