Kamis 15 Apr 2021 14:50 WIB

KKP Tegaskan tak Ada Lagi Izin Ekspor Benur

1,39 juta benih lobster diselundupkan periode 23 Desember 2020-14 April 2021.

Petani menunjukkan lobster air tawar capit merah (red claw) yang akan ditempatkan ke kolam pembenihan
Foto: ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah
Petani menunjukkan lobster air tawar capit merah (red claw) yang akan ditempatkan ke kolam pembenihan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan tidak akan lagi memberikan izin terhadap ekspor benih bening lobster (BBL). Plt Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Antam Novambar mengatakan, pihaknya ingin menggalakkan budi daya lobster guna meningkatkan ekspor lobster untuk ukuran konsumsi.

"Yang namanya ekspor benih bening lobster tidak akan lagi ada. Konsekuensinya satu, kita harus galakkan budi daya karena permintaan untuk lobster konsumsi pasti selalu meningkat seiring pertambahan penduduk," kata Antam Novambar dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (15/4).

Antam menegaskan ekspor BBL sampai saat ini masih dilarang dan akan terus dilarang dengan maksud untuk mengutamakan budi daya lobster dalam negeri. Dengan adanya pelarangan ekspor BBL tersebut, lanjutnya, maka diperkirakan akan semakin banyak modus yang akan digunakan untuk menyelundup apalagi keuntungan yang diraih tidak kecil.

"Penyelundupan tidak akan terjadi kalau tidak ada permintaan dari Vietnam. Kisaran harganya bisa sampai tujuh dolar per satu ekor," ujarnya.

Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan KKP Rina menyatakan pihaknya berkomitmen tidak lagi memperpanjang izin ekspor BBL. Rina mengapresiasi berbagai tindak penggagalan upaya penyelundupan yang dilakukan hasil kerja sama dengan berbagai instansi terkait seperti instansi kepolisian dan bea cukai.

Ia mengatakan kasus pelanggaran penyelundupan periode 23 Desember 2020 sampai dengan 14 April 2021 didominasi oleh 18 kasus penyelundupan komoditas benih bening lobster, dengan total jumlah sekitar 1,39 juta benih. Sedangkan kasus penyelundupan lainnya per komoditas adalah tiga kasus komoditas kerang hias, tiga kasus komoditas ikan hidup, tiga kasus komoditas lobster bertelur, dua kasus komoditas kepiting yang tidak sesuai ukuran yang diperbolehkan untuk diekspor, satu kasus komoditas ikan arwana, dan lima kasus produk ikan lainnya.

Dalam periode tersebut maka secara rekapitulasi ada sekitar 35 kasus dengan nilai sumber daya ikan yang bila disetarakan adalah berjumlah lebih dari Rp 210 miliar. Sebagaimana diwartakan Ombudsman RI menegaskan untuk melarang ekspor BBL setelah melakukan hasil Rapid Assessment Ombudsman RI terkait Tata Kelola Ekspor BBL sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 12/2020.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyatakan latar belakang dilaksanakannya kajian ini adalah hasil deteksi dini dan penelusuran informasi oleh Ombudsman RI, yang mengarah pada munculnya empat potensi mal-administrasi. Pertama, adanya diskriminasi pemenuhan kriteria sebagai nelayan penangkap BBL serta proses penetapan eksportir BBL dan nelayan BBL. Kedua, adanya permintaan imbalan pada pemenuhan persyaratan teknis penetapan eksportir BBL dan penetapan nelayan penangkap BBL.

Ia melanjutkan temuan ketiga Ombudsman adalah adanya tindakan sewenang-wenang dari eksportir BBL dalam penentuan skema kerja sama atau pola kemitraan dengan nelayan penangkap BBL. Keempat, Ombudsman menemukan penyalahgunaan wewenang dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dan eksportir BBL atas penetapan harga BBL yang menggunakan kriteria harga patokan terendah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement