Rabu 14 Apr 2021 21:29 WIB

Jalan Dicat Merah, Demonstran Hormati Pendemo yang Gugur

Ekonomi Myanmar terhenti sejak militer berkuasa merebut kekuasaan dari sipil

Rep: ferginadira/ Red: Hiru Muhammad
Para pengunjuk rasa memegang slogan yang mengutuk pemerintah militer saat mereka menandai festival Thingyan pada hari Selasa 13 April 2021 di Yangon, Myanmar. Aktivis mengorganisir boikot perayaan resmi Thingyan, Tahun Baru tradisional negara itu, biasanya waktu untuk reuni keluarga dan pesta pora.
Foto: AP
Para pengunjuk rasa memegang slogan yang mengutuk pemerintah militer saat mereka menandai festival Thingyan pada hari Selasa 13 April 2021 di Yangon, Myanmar. Aktivis mengorganisir boikot perayaan resmi Thingyan, Tahun Baru tradisional negara itu, biasanya waktu untuk reuni keluarga dan pesta pora.

REPUBLIKA.CO.ID,YANGON -- Pengunjuk rasa anti-kudeta di Myanmar mengoleskan cat merah di jalan-jalan kota, Rabu (14/4) waktu setempat. Aksi baru ini melambangkan darah yang tumpah pada lebih dari 700 pendemo yang gugur dalam tindakan keras militer yang brutal.

Pekan ini adalah festival Tahun Baru Myanmar di Thingyan, namun perayaan hari libur biasa seperti pertarungan air publik dibatalkan. Sebaliknya, pengunjuk rasa telah menggunakan Thingyan sebagai tempat berkumpul, karena halte bus dan trotoar disemprot merah di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri."Tujuan dari pemogokan berdarah adalah untuk mengenang para martir yang tewas dalam perjuangan untuk demokrasi," kata seorang peserta protes dari Yangon seperti dilansir laman Channel News Asia, Rabu.

"Kita seharusnya tidak bahagia selama waktu festival ini. Kita harus merasakan kesedihan bagi para martir yang berdarah dan kita harus terus berjuang dalam pertempuran ini dengan cara apapun yang kita bisa," ujarnya.

Di Mandalay, cat merah juga terpampang di jalan-jalan di tengah tanda-tanda bertuliskan: "Berharap kediktatoran militer kita gagal", "gulingkan era ketakutan" dan "darah tidak mengering di jalanan". Para pengunjuk rasa mengecat trotoar dengan warna merah di pinggiran kota Yangon dan meninggalkan catatan yang berbunyi: "PBB yang terhormat, Apa kabar? Saya harap Anda baik-baik saja. Sedangkan untuk Myanmar, kami sedang sekarat."

Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan pada bahwa Myanmar bisa berputar ke arah konflik seperti di Suriah. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet mendesak negara-negara untuk segera mengambil tindakan untuk mendorong militer Myanmar menghentikan penindasan dan pembantaian rakyatnya.

"Saya khawatir situasi di Myanmar sedang menuju konflik besar-besaran," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan. "Ada gema yang jelas tentang Suriah pada 2011," dia memperingatkan.

Hal itu merujuk pada dimulainya perang saudara yang selama dekade terakhir telah menewaskan sekitar 400 ribu  orang dan memaksa lebih dari enam juta orang meninggalkan negara itu. Tindakan keras berdarah telah membawa kecaman internasional yang meluas dan seruan untuk menahan diri, serta sanksi dari beberapa negara terhadap angkatan bersenjata Myanmar dan kepentingan bisnis mereka yang luas.

Kendati demikian perselisihan diplomatik telah menghentikan tindakan konkret. Diplomat tertinggi Uni Eropa menyalahkan Moskow dan Beijing karena memblokir langkah-langkah keras, seperti embargo senjata PBB. Di tempat lain pada Rabu, aktivis di kota-kota Monywa, Sagaing dan Dawei dan kota-kota kecil di wilayah Mandalay melakukan unjuk rasa dengan sepeda motor yang membawa bendera merah partai politik Aung San Suu Kyi.

Di pengadilan militer di Yangon, tujuh pengunjuk rasa yang dituduh membunuh seorang tersangka informan dijatuhi hukuman mati. Tiga dari demonstran diadili secara in absentia. Sementara itu, di wilayah Sagaing barat laut, pasangan ditembak mati saat mengantarkan susu setelah pasukan junta menyerbu kota Tamu.

Negara Asia Tenggara itu hampir tidak berfungsi. Ekonominya terhenti sejak militer merebut kekuasaan dari pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement