Rabu 14 Apr 2021 20:56 WIB

Pusako: Masa Jabatan Presiden Dibatasi agar tak Otoriter

Pusako menegaskan aturan konstitusional soal masa jabatan presiden sudah jelas.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Feri Amsari (kiri)
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Feri Amsari (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari mengatakan masa jabatan presiden dibatasi agar yang bersangkutan tidak terjebak menjadi otoriter. Hal ini merupakan amanat Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode (satu periode menjabat selama lima tahun).

"Salah satu pasal jantung reformasi konstitusi ya Pasal 7 itu, memberikan batasan kepada presiden agar presiden tidak terjebak pada otoritarianisme dan menjadi seperti raja," ujar Feri dalam diskusi daring, Rabu (14/4).

Baca Juga

Feri menolak jika Pasal 7 tersebut dimaknai agar masa jabatan diperpanjang lebih dari dua periode ketika presiden mampu menggabungkan polarisasi warga negara. Justru presiden harus mampu memberikan yang terbaik warga negara ketika akan mengakhiri masa jabatannya.

Ia mengatakan, masa jabatan presiden hakikatnya 10 tahun. Presiden dapat menjabat kembali pada periode kedua jika masyarakat memilihnya lagi karena presiden dianggap layak untuk memimpin negara.

Feri menegaskan, Pasal 7 UUD 1945 merupakan aturan main yang harus ditegakkan, itu pun dengan sejumlah batasan dalam sistem kekuasaan presiden. Dengan demikian, masa jabatan presiden tidak bisa diperpanjang lebih dari dua periode berdasarkan kondisi baik saat ini.

"Jadi aturan main konstitusionalnya sudah jelas, soal rakaat dalam sistem presidensial itu lima tahun dua kali periode. Jangan kemudian karena dia baik lalu kemudian dia diperpanjang," katanya.

Menurut dia, aturan memperpanjang masa jabatan karena kondisi baik hari ini dapat menipu. Ia mencontohkan, perpanjangan masa jabatan presiden berkali-kali terjadi pada Presiden Rusia Vladimir Putin dengan perubahan konstitusi.

Jika ini dilakukan juga di Indonesia, Feri berkata, banyak hak warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan akan hilang. Dia juga menolak gagasan calon tunggal presiden melawan kotak kosong yang dapat membunuh bangsa.

"Harus ada kesempatan bagi warga negara lain untuk kemudian memperoleh posisi yang sama, bukankah UUD mengatur bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan," tutur Feri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement