Rabu 14 Apr 2021 17:46 WIB

Pemerintah Harus Cari Solusi Terkait Sengketa Pajak PGN

Persoalan ini akan hambat pembangunan infrastruktur gas bagi pemerataan pemakaian gas

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Budi Raharjo
Dampak Eksternal Pengaruhi Kinerja PGN 2020. (ilustras)
Foto: PGN
Dampak Eksternal Pengaruhi Kinerja PGN 2020. (ilustras)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan semua pihak, sehingga tidak menimbulkan kerugian di satu sisi. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemerintah perlu memberikan perhatian pada permasalahan yang dihadapi BUMN, salah satunya sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara (PGN) atas transaksi tahun pajak 2012 dan 2013.

Sengketa pajak itu menjadi salah satu pemicu kerugian perusahaan negara itu pada 2020 sebesar 264,7 juta dolar AS. "Kalau kerugian yang disampaikan laporan keuangan paling banyak pajak," kata Komaidi, Rabu (14/4).

Menurut Komaidi, sengketa pajak tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah di tingkat Kementerian Koordinator. Pasalnya, jika PGN merugi akibat membayar sengketa pajak akan mengurangi setoran dividen ke negara. Selain itu, juga akan menghambat pembangunan infrastruktur gas untuk pemerataan penggunaan gas bumi.

"Itu seharusnya diselesaikan di pemerintah, masalah kantong kiri kantong kanan, kalau bayar pajak setoran dividen berkurang," tuturnya.

Komaidi melanjutkan, perhatian berikutnya pada penetapan harga gas sebesar 6 dolar AS per MMBTU, kebijakan ini juga menjadi penyebab PGN rugi. Kondisi ini diperparah oleh penyerapan gasnya tidak optimal sehingga membuat keuntungan sebagai penyalur gas yang kecil tergerus biaya operasi.

"Hal ini harus diperhitungkan pemerintah, sebenarnya nggak apa-apa tapi volumenya banyak, tapi simulasi itu meleset sehingga kerugiaan tidak bisa terhindarkan," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menambahkan, dengan realisasi penyerapan gas oleh konsumen industri yang tidak optimal,  maka sebaiknya pemerintah mengevaluasi kebijakan harga gas. Seharusnya dengan ditetapkannya gas menjadi 6 dolar AS per MMBTU industri harus lebih produktif.

"Pemerintah juga evaluasi kebijakan dari program harga gas khusus untuk industri tertentu itu. Karena setelah diberikan fasilitas itu industrinya gak bergeliat," ujar Eddy.

Eddy menyebutkan, berdasarkan laporan keuangan PGN terlihat realisasi niaga gas bumi kepada industri dan komersial sepanjang 2020 mengalami penurunan 23 persen dibandingkan 2019. Padahal, semestinya kebijakan harga gas khusus ini bisa mendorong industri yang memakai bahan baku gas lebih bergeliat.

"Konsep awalnya kan, keringanan harga gas itu agar industrinya meningkatkan kinerjanya menghasilkan produk dan bisa memberikan nilai tambah bagi negara. Nah, ini perlu evaluasi ini kebijakan efektif apa enggak," kata Eddy.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement