Selasa 13 Apr 2021 14:49 WIB

Perbankan Didorong Naikkan Target Kredit UMKM 35 Persen

Beberapa tahun terakhir, porsi kredit UMKM di Indonesia stagnan 20 persen.

Pameran produk Usaha mikro kecil menengah (UMKM) Pekan Kerajinan dan Karya Kreatif Jawa Barat (KKJ) di Trans Studio Mall Bandung (TSM), Kota Bandung, Jumat (2/3). Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong perbankan untuk memenuhi target penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai 35 persen dari total kredit perbankan nasional pada 2021.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Pameran produk Usaha mikro kecil menengah (UMKM) Pekan Kerajinan dan Karya Kreatif Jawa Barat (KKJ) di Trans Studio Mall Bandung (TSM), Kota Bandung, Jumat (2/3). Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong perbankan untuk memenuhi target penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai 35 persen dari total kredit perbankan nasional pada 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mendorong perbankan memenuhi target penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sampai 35 persen dari total kredit perbankan nasional pada 2021. Menurut Airlangga, melihat besaran kredit UMKM di ASEAN hingga mencapai 60 persen, maka Indonesia perlu mendorong UMKM untuk naik kelas.

"Bankir memang harus dikasih target, agar tidak terus menerus berada di zona nyaman yang bisa menyebabkan tersendatnya penyebaran kredit UMKM," kata Airlangga dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (13/4).

Dalam sebuah acara peluncuran sebuah laman informasi vaksin, Airlangga mengatakan, dalam 6-7 tahun terakhir besaran kredit UMKM hanya stagnan berkisar 18-20 persen. "Kalau targetnya dinaikkan maka perbankan akan lebih tertantang," uarnya.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), kredit UMKM perbankan nasional per Februari 2021 mencapai Rp 1.010,3 triliun atau 18,6 persen terhadap total kredit Rp 5.417,3 triliun. Komposisi tersebut tidak berubah dari akhir 2020.

Airlangga pun memberikan contoh besaran kredit usaha rakyat (KUR) yang mengalami peningkatan dari yang sebelumnya Rp 190 triliun hingga kini menjadi Rp 253 triliun. "Jadi challange-nya semakin besar, tetapi bagi perbankan tahun ini risikonya dijamin dengan iuran pemerintah. Dengan iuran penjaminan ini, maka risikonya akan lebih rendah, ditambah beberapa aset tertimbang menurut risiko (ATMR)-nya diturunkan, seperti otomotif, properti ATMR-nya turun," katanya.

Ia mengakui, saat ini terjadi crowding out, karena perbankan lebih suka menaruh uang di surat berharga negara (SBN) ketimbang kredit karena faktor perbandingan antara risiko gagal bayar dari nasabah dan imbal hasil yang didapat dengan besaran minimal tujuh persen.

"Memang ada crowding out, kalau taruh SBN kan bisa tujuh persen minimal, kalau taruh kredit ada risiko gagal bayar. Jadi comfort zone ini yang harus ditantang. Tentu, ini dari regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang harus memaksa, karena kalau tidak bisa tersendat seperti tahun-tahun kemarin," tambahnya.

Selain itu, pemerintah telah mendorong peraturan Kementerian Keuangan (PMK) yang baru, agar target penyaluran kredit oleh bankir terealisasikan, sehingga bagi perbankan mewujudkan target tersebut harusnya tidak sulit.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement