Senin 12 Apr 2021 15:37 WIB

Lempeng Selatan Malang Dinilai Mudah Patah

Periodisasi gempa besar kemungkinan terjadi setiap 20 sampai 30 tahun.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Bilal Ramadhan
Warga dan relawan merobohkan rumah korban gempa di Majangtengah, Malang, Jawa Timur, Senin (12/4/2021). Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi jatuhnya korban lagi karena banyak bangunan korban gempa sudah tidak layak huni.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Warga dan relawan merobohkan rumah korban gempa di Majangtengah, Malang, Jawa Timur, Senin (12/4/2021). Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi jatuhnya korban lagi karena banyak bangunan korban gempa sudah tidak layak huni.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Guru Besar Bidang Geofisika Kebencanaan dan Eksplorasi Sumberdaya Alam dari Universitas Brawijaya (UB), Profesor Adi Susilo mengatakan, lempeng di wilayah selatan Malang termasuk yang sudah berusia tua. Hal ini mengartikan lempengannya mudah patah sehingga berpotensi besar mengalami gempa.

Berdasarkan analisis Adi, potensi gempa berkekuatan magnitudo 6 sampai 7 di selatan Malang sebenarnya kecil. Begitu pula dengan kekuatan 8 maupun 9 SR, ini berpotensi sangat kecil terjadi di Malang. "Enam itu pun akan jarang-jarang. Yang banyak itu (magnitudo) empat dan lima cukup banyak," ucap Adi saat dihubungi Republika.

Adi sendiri sempat merilis hasil analisisnya mengenai gempa pada 2006 lalu. Hal ini dilakukan setelah Indonesia diterpa banyak gempa, baik di Yogyakarta, Pangandaran dan sebagainya. Kejadian tersebut membuat masyarakat panik dan menerka-nerka waktu kejadian gempa di Indonesia.

Pada salah satu analisisnya, Adi memfokuskan pada periodisasi gempa besar yang terjadi di Jawa Timur (Jatim). Jatim tercatat pernah mengalami gempa besar pada 1967. Tidak ada yang tahu besaran gempa tersebut, mengingat alat pendeteksi belum secanggih saat ini.

Berdasarkan laporan yang ada, gempa 1967 telah memberikan dampak kerusakan cukup besar. "Rusak sekian di daerah Dampit, Gondanglegi, ke arah barat banyak yang rusak. Pusatnya juga masih belum modern saat itu. Sehingga tidak diketahui berapa kekuatan, hanya kisaran kerusakan di daerah ini. Ada rumah hancur dan meninggal. Itu saja," kata Adi.

Selanjutnya, peristiwa gempa besar di Jatim kembali terjadi pada 1994. Gempa yang terjadi di Banyuwangi tercatat memiliki kekuatan sebesar 7,6 SR. Peristiwa ini menyebabkan rumah rusak, ratusan warga terluka dan meninggal.

Dari catatan sejarah gempa ini, Adi pun memetakan periodisasi gempa besar kemungkinan terjadi setiap 20 sampai 30 tahun. Hasil analisis Adi pada 2006 lalu menyimpulkan peristiwa tersebut kemungkinan akan terjadi pada 2010 atau 2020. "Itu memang 27 tahun (jarak dengan 1994). Jadi kayak kok pas juga 27 tahun," kata dia.

Meski Jawa Timur memiliki potensi gempa besar, hal ini bukan berarti masyarakat harus panik. Yang perlu diterapkan pada diri masing-masing warga itu kewaspadaannya. "Biasa tapi dalam posisi waspada. Yang utama itu," ujar dia.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Malang, Ma’muri menjelaskan, setidaknya ada tiga penyebab gempa bumi di Jatim. Pertama, gempa yang bersumber pada subduksi lempeng Indo-australia dan Eurasia di wilayah Selatan Jawa.

"Ada juga sumber-sumber sesar aktif yang menyebabkan gempa bumi," kata Ma'muri.

Penyebab gempa bumi ketiga di Jatim berasal dari luar subduksi lempeng. Dalam hal ini gempa bumi yang disebabkan letusan gunung berapi. Jatim memiliki banyak gunung berapi yang beberapa di antaranya seperti Semeru, Ijen, Bromo dan sebagainya.

Selain subduksi lempeng, Jatim ternyata memiliki sesar darat yang cukup aktif. Sesar ini dapat menimbulkan gempa di daratan. Meski kekuatannya kecil dan berada di kedalaman dangkal, efek kerusakan gempa ini lebih besar dibandingkan gempa subduksi.

Sejauh ini, BMKG belum menemukan sesar aktif di Malang meski wilayah ini acap mengalami gempa. "Ada banyak sesar yang belum teridentifikasi karena sesar itu cukup banyak sehingga perlu kajian khusus untuk penandaan atau pemberian namanya," jelasnya.

Namun untuk wilayah Jatim, BMKG menemukan tujuh sesar aktif dan enam segmen sesar Kendeng. Yakni, sesar naik Pati, sesar Kendeng (segmen Demak, Purwodadi, Cepu, Blumbang, Surabaya dan Waru) dan sesar Pasuruan. Kemudian sesar Probolinggo, sesar Wongsorejo, zona sesar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala) dan sesar Bawean Fault.

Jika ditilik dari sejarah, Jatim termasuk daerah yang memiliki gempa darat cukup banyak. Sementara di Malang pernah terjadi pada 1958 dan 19 Februari 1967 dengan kekuatan gempa sebesar 6,2 SR. Namun sumber gempa ini belum termasuk sebagai sesar lokal wilayah Malang.

Adapun aktivitas kegempaan selama dua bulan terakhir di Jatim, Ma'muri mengungkapkan, jumlahnya cukup meningkat. Situasi ini mendorong BMKG untuk membuat beberapa langkah yang perlu ditingkatkan.

"Kita sudah beberapa kali survei terutama di Pacitan, Pantai Banyuwangi untuk melihat perkiraan gelombang dan bagaimana jalur evakuasi," jelasnya.

Selanjutnya, Jatim juga tercatat pernah beberapa kali mengalami gempa yang menyebabkan tsunami. Yakni, tsunami pada 1840, 1843, 1859 dengan catatan gelombang cukup besar.

"Terakhir kita ingat 1994 itu tsunami di Banyuwangi bedampak sampai ke Malang Selatan," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement