Senin 12 Apr 2021 10:56 WIB

Korsel Kurangi Ketergantungan Ekonomi ke China

Korsel ingin mempererat kerja sama ekonomi dengan Indonesia.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Cina dan Korea Selatan (ilustrasi)
Bendera Cina dan Korea Selatan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korea Selatan (Korsel) berupaya untuk mengurangi ketergantungan ekonomi ke China. Salah satunya dengan mempererat kerja sama ekonomi dengan Indonesia.

Member of Advisory Group of Presidential Commitee on the New Southern Policy Korea, Prof Wongi Choe menjelaskan, melalui New Southern Policy Plus Framework, Korsel berupaya untuk melakukan diversifikasi ekonomi dan penyelarasan ekonomi menuju negara-negara berkembang di Asia Tenggara agar menyuntikkan sumber dinamika dan pertumbuhan ekonomi baru dalam ekonomi Korea.

Baca Juga

Dalam hal ini, Seoul melihat banyak peluang dalam memperluas perdagangan dan investasi dengan ekonomi dinamis ini. Negara-negara di ASEAN dinilai memiliki banyak kesamaan ekonomi dengan Korea dan potensi masa depan yang cerah.

Faktanya, perdagangan bilateral dua arah dengan Asia Tenggara telah berkembang begitu cepat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga 10 negara anggota ASEAN sebagai kelompok berdiri sebagai mitra dagang terbesar kedua Korea setelah China pada 2019.

"NSP bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi dan meminimalkan risiko. Jadi, tidak meletakkan telur di satu keranjang." ujar Prof. Wongi Choe dalam pembukaan Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Jumat (9/4).

Motivasi lain untuk diversifikasi ekonomi yang lebih besar terkait erat dengan kebutuhan strategis Seoul untuk mengurangi kerentanan eksternalnya, yang berasal dari ketergantungan ekonomi yang besar pada China.

China saat ini menyumbang lebih dari 27 persen dari keseluruhan volume perdagangan Korea, dan ketergantungan perdagangan yang berlebihan ini telah menjadi sumber pemaksaan ekonomi China, yang dimulai pada tahun 2016. Melihat hal tersebut, Prof Choe menilai bahwa kebijakan untuk mendiversifikasi ekonomi ke Asia Tenggara merupakan langkah yang tepat.

"China memang memiliki tenaga kerja yang murah, dan perusahaan-perusahaan Korea banyak membuka pabrik di sana. Tapi sekarang kami lebih kompetitif dengan China, apalagi Korea memiliki potensi dan riset yang mumpuni." jelasnya.

Hal ini yang mendasari banyaknya investasi Korea yang masuk ke Indonesia. Melalui kerjasama The Indonesia- Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), saat ini Korsel merupakan investor asing terbesar kelima di Indonesia.

Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto menjelaskan bahwa saat ini, terdapat 5.468 proyek dari kerjasama Korsel-Indonesia yang menciptakan sekitar 102 ribu lapangan pekerjaan.

"Indonesia juga merupakan eksportir terbesar ke 12 Korsel, dengan nilai 7,6 miliar dolar AS." kata Santo dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, pandemi Covid-19 telah menghambat pertumbuhan ekonomi kedua negara. Perdagangan bilateral anjlok sebesar 30 persen dari 19,9 miliar dolar AS di 2019 menjadi 13,9 miliar dolar AS di 2020.

Ekspor Indonesia anjlok 13,9 persen di 2019-2020. Akan tetapi, menurut Santo, kerjasama ekonomi kedua negara masih dalam wilayah yang aman atau 'safe zone', dengan surplus sebesar 1,28 miliar dolar AS di 2020.

"Indonesia sudah mengekspor 20 persen produk komoditas ke Korsel. Namun perlu diversifikasi untuk produk yang lebih berkelanjutan dan bernilai tambah," kata Santo.

Selain itu, Indonesia juga mendorong agar kerjasama kedua negara dalam bidang ekonomi juga lebih fokus kepada infrastruktur UMKM kedua negara, serta mengembangkan startup untuk menjadi perusahaan unicorn selanjutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement