Sabtu 10 Apr 2021 02:51 WIB

Pandemi Pacu Pembelajaran Penanganan Kegawatdaruratan

Interkolaborasi antar pasien menjadi kunci dalam penanganan pasien di rumah sakit.

Rep: Citra Listyarini/ Red: Bilal Ramadhan
Petugas kesehatan berjalan di ruang perawatan pasien COVID-19, Rumah Sakit Lapangan Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/4/2021). Tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Ratio (BOR) di rumah sakit rujukan COVID-19 di Kota Bogor menurun dengan jumlah tempat tidur isolasi yang terisi hanya 30,7 persen, angka ini jauh di bawah ambang batas BOR menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 60 persen.
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Petugas kesehatan berjalan di ruang perawatan pasien COVID-19, Rumah Sakit Lapangan Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/4/2021). Tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Ratio (BOR) di rumah sakit rujukan COVID-19 di Kota Bogor menurun dengan jumlah tempat tidur isolasi yang terisi hanya 30,7 persen, angka ini jauh di bawah ambang batas BOR menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 60 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setahun pandemi Covid-19, tenaga medis, organisasi profesi dan kesehatan lainnya memasuki zona bertumbuh, setelah sebelumnya melewati zona ketakutan dan belajar. Para pelaku di sektor kesehatan juga berpacu dengan perkembangan teknologi, termasuk digitalisasi dan di saat yang sama, berjibaku dengan isu keamananan.

Demikian terungkap dalam Workshop Persiapan Kegawatdaruratan Sistem Kesehatan untuk Persiapan Bencana (Disaster Preparedness) Biologis dan Non Biologis yang diselenggarakan dalam rangkaian Indonesia Digital Medic Summit (IDMS) 2021 pada Rabu (31/3).

IDMS 2021 diselenggarakan Pusat Digital dan Informasi PERSI (PDPERSI) bekerja sama dengan Komunitas Digital Medis dan Rumah Sakit Indonesia (KITRAS) bergandengan dengan perhimpunan dan asosiasi kesehatan di Indonesia secara virtual. Berbagai tema terkait digitalisasi di bidang kesehatan dikupas pada 15 hingga 31 Maret 2021, mempertemukan kalangan perumahsakitan dengan ekosistem digital dalam bentuk seminar dan pelatihan, baik berbayar maupun tidak berbayar.

"Awal-awalnya kita gagap, tapi seluruh dunia juga kini telah memasuki tahap konsolidasi. Sangat penting untuk berkomunikasi agar semua pihak tidak berjalan sendiri-sendiri. Terlebih, kondisi Indonesia belum bisa dievaluasi karena tracing rate juga belum sesuai dengan standar WHO sehingga kita masih harus sangat waspada," ujar Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) Dr Nirwan Satria Sp.An dalam rilisnya, Jumat (9/4).

 

Nirwan menekankan konsolidasi ini sangat perlu dilakukan 23 organisasi profesi tenaga kesehatan berdasarkan PP No 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan 33 organisasi profesi yang tergabung dalam Forum Organisasi Profesi Kesehatan Indonesia (FOPKI).

Sementara, Ketua Cabang PDEI Jawa Tengah yang juga Dokter Bedah di RSUP Surakarta Dr Arif Budi Satria Sp.B memaparkan pengalamannya saat terlibat dalam pembangunan dan pengoperasian RS Lapangan Solo di Benteng Vastenburg. RS lapangan itu didirikan modular, sehingga cepat didirikan. Di Solo diputuskan untuk mendirikan RS lapangan karena saat itu rumah sakit-rumah sakit sudah penuh.

"Solo pun selalu merah, sesekali saja oranye dan hingga kini masih beroperasi. RS lapangan ini juga baik bagi penanganan pasien karena sirkulasi udara dan temperaturnya," kata Arif.

RS lapangan tersebut, kata Arif, berfokus menangani pasien ringan dan sedang dan dikawal TNI, BNPB serta dokter dari RSUD Dr. Moewardi serta rumah-rumah sakit lainnya di Solo. Pasien yang kondisinya berat, dirujuk ke rumah sakit rujukan.

"Mantranya adalah interkolaborasi antar profesi, seperti keputusan membuka ruang perawatan di asrama haji di Solo. Saat itu kami rapat antar organisasi, adaptasi dilakukan bersama, juga dilakukan delegasi agar dokter tidak kelelahan semua. Kita harus ingat, dokter yang wafat juga sudah banyak, mereka sekolah minimal 10 tahun dan dokter koas juga saat ini juga terhambat sekolahnya," kata Arif.

Sementara, Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Kerjasama Muhammdiyah Covid-19 Command Center yang juga Kepala Bagian Instalasi Gawat Darurat RS Muhammadiyah Lamongan dr. Corona Rintawan, Sp.EM menyatakan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) sebenarnya sudah mengatur simulasi penanganan atau tanggapan kedaruratan, termasuk menghadapi wabah.

Simulasi itu bahkan mengantisipasi konflik yang terjadi antara pribadi dengan rumah sakit. Misalnya langkah yang harus dilakukan ketika staf memilih pulang dan tidak melayani pasien.

Corona kemudian memutar video kegiatan perencanaan dan simulasi yang dilakukan RS Islam Aisyiah Malang, Jawa Timur, yang melibatkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) hingga Dinas Kesehatan yang dilakukan pada 2018.

"Rumah sakit yang kini tengah bertarung dengan Covid-19, sesungguhnya sudah praktik langsung bagaimana menghadapi situasi darurat wabah. Mereka sudah mengatur jadwal tugas tim medis hingga kapasitas rumah sakit. Maka, di akhir perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur aspek mana yang masih perlu ditingkatkan,” ujar Corona.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement