Jumat 09 Apr 2021 15:22 WIB

Bisnis Permata Kena Sanksi, Pukulan Telak Bagi Junta Myanmar

AS diyakini akan terus menjatuhkan sanksi ke Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Demonstran muda menunjukkan simbol perlawanan tiga jari selama serangan topeng anti-kudeta di Yangon, Myanmar, Minggu, 4 April 2021. Ancaman kekerasan mematikan dan penangkapan pengunjuk rasa gagal menekan demonstrasi harian di seluruh Myanmar yang menuntut militer mundur. dan memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Foto: AP
Demonstran muda menunjukkan simbol perlawanan tiga jari selama serangan topeng anti-kudeta di Yangon, Myanmar, Minggu, 4 April 2021. Ancaman kekerasan mematikan dan penangkapan pengunjuk rasa gagal menekan demonstrasi harian di seluruh Myanmar yang menuntut militer mundur. dan memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi kepada junta militer Myanmar sebagai respons atas aksi kudeta pada Februari lalu. Kali ini Washington membidik perusahaan permata milik negara, yakni Myanmar Germs Enterprise (MGE).

Sanksi tersebut membekukan aset apa pun yang dimiliki MGE di AS atau yurisdiksi AS dan melarang warga negara Amerika melakukan bisnis dengannya. MGE adalah pengekspor utama permata dan batu semi-mulia seperti giok di Myanmar. Pendapatan yang dihasilkannya cukup besar bagi kas negara.

Baca Juga

"(Sanksi ini) sinyal yang jelas kepada militer (Myanmar) bahwa AS akan terus meningkatkan tekanan pada aliran pendapatan rezim sampai ia menghentikan kekerasannya, membebaskan semua yang ditahan secara tidak adil, mencabut darurat militer dan keadaan darurat nasional, menghapus pembatasan telekomunikasi, dan mengembalikan Burma (Myanmar) ke jalur demokrasi," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Kamis (8/4).

Blinken mengaku terus mengikuti perkembangan di Myanmar. "Rezim militer Burma telah mengabaikan keinginan rakyat Burma untuk memulihkan jalan negara menuju demokrasi dan terus melakukan serangan mematikan terhadap pengunjuk rasa selain serangan acak terhadap para pengamat,” ucapnya.

Sampai saat ini, aksi demonstrasi menentang kudeta militer di Myanmar masih berlangsung. Aparat keamanan pun terus merespons gelombang aksi tersebut dengan kekerasan. Sejak unjuk rasa digelar pada Februari lalu, sedikitnya 550 orang, termasuk anak-anak, tewas oleh pasukan keamanan.

Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement