Kamis 08 Apr 2021 18:05 WIB

Refleksi Abdullah An-Naim tentang Masa Depan Syariah

An-Naim mengelaborasi secara utuh hubungan dan pengaruh antara agama & negara.

Abdullahi Ahmed An-Na’im
Foto: ahmadrajafi.wordpress.com
Abdullahi Ahmed An-Na’im

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Gilang Ramadhan*

Abdullahi Ahmed An-Na’im tergolong salah seorang pemikir dan penulis produktif asal Sudan, yang fokus dalam pengartikulasian pemikiran Mahmud Mohammad Toha. Bila dikuantifikasikan, An-Na’im sampai tahun 1995 telah berhasil menyelesaikan kurang lebih tujuh buah buku, puluhan artikel yang tersebar dipelbagai jurnal-jurnal dunia dan puluhan makalah seminar. Ia populer sebagai pakar dalam bidang Keislaman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Penelitian yang intens ia lakukan mencakup isu-isu tentang ketatanegaraan yang terdapat di negara-negara Islam dan Afrika.

Buku dengan judul “Islam and the Secular State; Negotiating the Future of Sharia” ini mengelaborasi secara utuh terkait hubungan dan pengaruh antara agama dan negara dalam membentuk suatu kebijakan, termasuk di dalamnya terkait penerapan syariah Islam. Dalam buku tersebut An-Na’im membahas tujuh sub pembahasan.

Pertama, Masa depan Syariah: Sekularisme dalam Perspektif Islam. Kedua, Islam, Negara, dan Politik dalam Perspektif Historis. Ketiga, Konstitusionalisme, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kewarganegaraan. Keempat, Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif. Kelima, India: Sekularisme Negara dan Kekerasan Komunal. Keenam, Turki: Kontradiksi-kontradiksi Sekularisme Otoriter. Dan terakhir membahas terkait, Indonesia: Realitas Keragaman dan Prospek Pluralisme.

Sebagai bentuk komparasi, salah satu buku yang cukup relevan dengan buku An-Na’im ini adalah buku yang ditulis oleh Bassam Tibi dengan judul “Islam dan Islamisme” (Mizan: 2016). Buku tersebut mengulas tentang krisis yang melanda sebagian negara di Timur Tengah yang disinyalir gagal dalam membentuk sebuah negara.

Bassam Tibi berargumentasi meski Islamisme berkait dengan tatanan politik, namun, Islamisme bukan mencakup politik secara an sich. Cakupan politiknya adalah lebih mengarah kepada politik yang diagamaisasikan. Kerangka agamaisasi politik ini yang menjadi titik tolak dan titik pacu pembahasan. Barangkali kelebihan yang termuat dalam buku An-Na’im (dan tidak ditemukan dalam buku Bassam Tibi), sebagaimana yang dinarasikan oleh Azyumardi Azra adalah terkait elaborasi yang lebih utuh terutama dalam pembahasan diskursus tarik tambang syariah, sekularisme, dan negara. 

An-Na’im membuka pembahasannya dengan pemaknaan syariah secara historis yang berkembang dan berhubungan langsung dengan historisitas nyata umat Islam. Syariah historis inilah yang oleh umat Islam tradisional, konservatif dan fundamentalis hendak diterapkan ulang dalam konteks kehidupan sekarang (hal. 26).

Penelitian yang dilakukan oleh An-Na’im terkait tentang syariah, mulai sejak masa Rasul sampai periode Abbassiyah, mengasumsikan bahwa formulasi terkait penerapan syariah, sebagaimana juga termuat dalam sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti etape perkembangan umat. Penafsiran syariah yang bermuara kepada sumber sucinya secara eksplisit merupakan produk proses dari sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam sesuai dengan konteks sosio-historis masanya masing-masing.

An-Na’im tidak menolak al-Quran dan Sunnah sebagai sumber syariah, menurutnya terdapat hal-hal tertentu yang perlu dan sangat penting untuk dikritisi. An-Na’im menganalogikan terkait ijtihad Umar bin Khatab yang pernah tidak memberlakukan al-Qur’an sebagai sumber, seperti tidak memberikan zakat kepada muallaf dan tidak membagi harta rampasan perang kepada tentara. Hal ini menurutnya dikarenakan terdapat kondisi mendesak yang hal itu juga berkonsekuensi pada tidak diterapkannya al-Qur’an (hal. 56-57). 

An-Na’im dengan nada cukup optimistis menyatakan bahwa syariah memiliki masa depan yang menjanjikan dalam polarisasi kehidupan publik masyarakat Islam. Namun bersamaan dengan itu, ia justru menegasikan penerapan syariah (Islam) yang terkesan dipaksakan oleh para negarawan. Penegasian yang dilakukan oleh An-Na’im tersebut bertolak dari asumsi bahwa, sebagai ajaran atau doktrin yang sakral dan suci, syariah haruslah diinternalisasikan dalam setiap diri individu umat Islam secara utuh dan penuh kesadaran.

Utuh dan penuh kesadaran ini dimaksudkan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk di dalamnya adalah intervensi dari negara. Ketika syariah diterapkan secara formal kedalam aturan-aturan yang didekritkan oleh negara, maka dengan demikian, secara bersamaan, syariah telah kehilangan fungsinya yang sakral, digantikan oleh aturan-aturan baku yang bersifat profan.

Pada saat yang sama, An-Naim hendak mengartikulasikan bahwa formalisasi syariah yang diintrodusir oleh pihak negara dapat berkonsekuensi kepada hilang dan cacatnya nilai-nilai kesucian dari syariah. Oleh sebab itu, sebagai bentuk solutifnya, An-Na’im memberikan opsi agar negara secara kelembagaan harus dibatasi oleh garis demerkasi yang jelas dengan agama (dalam hal ini adalah Islam), yang pada titik kulminasinya bertujuan untuk menjaga dan meminimalisir distorsi syariah.

Dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM), An-Na’im berusaha untuk merekonsiliasi ambivalensi penerapan hukum-hukum syariah dan HAM dengan bertolak kepada teori anulir (nasakh). Paradigma pemikiran An-Na’im yang demikian terstimulasi dari produk hukum yang dihasilkan oleh hukum Islam tradisional, yang dirasanya kurang begitu relevan dengan polarisasi kehidupan di era saat ini, bahkan cenderung kontradiktif (hal. 171-172).

Dalam memberikan solusinya An-Na’im memulai kritiknya terhadap sumber, metodologi, dan implementasi pemikiran hukum Islam konvensional, yaitu dengan cara untuk merekonstruksi dan memikiran ulang (rethinking) hukum Islam tersebut secara radikal. Yang tujuan akhirnya adalah agar umat Islam tidak terpenjarakan oleh kesalahan pola pikir yang diwariskan secara terus-menerus oleh para ulama konvensional dan senantiasa menyadari dengan penuh kejujuran bahwa syariah yang ada dalam Islam berjalan lurus dengan Hak Asasi Manusia.

Untuk bisa mewujudkan hal yang demikian umat Islam harus berani untuk mengambil tindakan secara serius dalam merekonstruksi hukum Islam yang lebih baru, dengan metodologi yang lebih komprehensif, serta relevan  dengan pola Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Jika dilihat secara detail, pemikiran al-Na’im sebenarnya tidak ada yang betul-betul baru. Ia hanya ingin mengaksentuasikan kembali setiap argumen yang pernah diamplifikasikan dalam karyanya yang berjudul Towards an Islamic Reformation (1990), yang dalamnya mengelaborasi terkait penegasian intervensi negara dalam proses formalisasi syariat Islam.

Ia ingin menegaskan bahwa secara historis tidak ada negara Islam, karena hal demikian dinilainya bertentangan dengan sifat, fungsi, dan tujuan dari diciptakannya syariat, yang hanya bisa dijalankan dengan kesadaran dalam diri setiap penganutnya. 

Menurut An-Naim, syariah akan kehilangan otoritas, autentisitas dan nilai religiusitasnya bila diterapkan melalui negara. Ia menekankan perlunya menjaga sisi netralitas negara terhadap eksistensi agama dan pemisahan secara kelembagaan antara Islam dan negara, agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam (hal. 245).

Jika teliti, ide-ide dan adagium yang dilontarkan oleh An-Na’im ini akan terkesan sangat utopis dan absurd, sebab beberapa aspek hukum yang termuat dalam syariah Islam meniscayakan adanya intervensi dan campur tangan dari negara, yang tujuan akhirnya adalah untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya kekacauan. Dalam proses pelaksanaan hukum kriminal, pengaturan yang berhubungan dengan ekonomi, pernikahan, wasiat, dan lain sebagainya, akan terasa cukup kompleks mengimajinasikan negara untuk tetap netral.

Sebagai sampel, di Indonesia saja, urusan terkait dengan pendidikan Islam, pernikahan, pelaksanaan zakat dan haji, pemakaman Islam, wakaf, dan hal yang serupa dengannya, telah melibatkan campur tangan dan intervensi dari pihak negara, dan itu berjalan biasa-biasa saja, tanpa adanya konflik dan sentimen yang cukup masif.

An-Na’im selanjutnya menegaskan terkait relativitas dari syariah. Menurutnya, syariah merupakan produk dari pemikiran manusia terhadap al-Quran dan Sunnah, dan oleh sebab itu ia tidak bisa terlepas dari pengaruh konteks; ruang dan waktu, konteks historis, sosial, dan politik eksegesisnya. Syariah dengan demikian tidaklah suci, apalagi kekal dan permanen yang bisa berlaku untuk semua waktu dan tempat (solihun li-kulli al-zaman wa al-makan). 

Di sini An-Na’im seolah-olah mengasumsikan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk dapat mengakases, menginterpretasikan, dan berinteraksi langsung dengan sumber primer al-Quran dan Sunnah. Pemahaman relativisme dan desakralisasi syariah seperti yang dicontohkan oleh An-Na’im tentu sangat rentan. Sebab, akan berimplikasi pada pemikiran bahwa agama itu sendiri adalah hasil kreativitas dan kreasi dari manusia.

Artinya, Islam adalah produk dari rekayasa pikiran manusia di masa awal. Pendapat ini sangat berimplikasi panjang. Ia bukan hanya menegasikan nilai sakralitas agama. An-Na’im memang menawarkan kemungkinan penerapan syariah melalui jalur demokrasi. Ia mengatakan bahwa untuk menjadikan hukum Islam sebagai peraturan dan hukum publik, ia hendaklah mendapatkan approval dari apa yang telah disebut oleh dirinya sebagai public reason (hal. 155-162). 

Setelah mendiskusikan jauh terkait pemikiran dan ide-ide yang telah dikemukakan oleh An-Na’im, harus segera disadari bahwa terdapat beberapa aspek yang perlu untuk dikritisi dari karya An-Na’im tersebut, terutama terkait penolakan An-Na’im terhadap otoritas sunnah sebagai landasan hukum Islam. Ia menilai, sunnah dapat menjadi penghalang utama bagian warisan bagi non-muslim karena ia sendiri masih mempertanyakan orisinalitas dari sunnah sendiri. Tapi yang perlu digaris bawahi bahwa fungsi sunnah Nabi Muhammad adalah sebagai penjelas terhadap maksud firman-firman Allah.

Dalam hukum Islam konvensional, kedudukan akal hanya terletak di bawah sumber hukum yang paling pertama dan utama yaitu al-Qur’an dan sunnah. Setelah itu, ulama’ menyepakati adanya ijma’ sebagai sebuah konsensus kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama’.

Tapi di tempat yang ketika ini masih banyak yang memperdebatkan dan mempersoalkan, sebab ada yang berargumen bahwa setelah al-Qur’an dan sunnah adalah akal atau ra’yu. Akal sendiri menurut islam tidak ada kontradiksi dengan al-Qur’an dan sunnah, jika terjadi, maka mustahil Islam akan menjadikan dan menempatkan kedudukan akal manusia setara dan sejajar dengan kedudukan dari keduanya.

Oleh sebab itu benar bila An-Na’im mencoba untuk menerapkan prinsip dan pola sekularisasi; memisahkan antara agama dengan Negara, sebab konsep tentang negara adalah murni hasil dari olah pikir dari akal manusia, sedangkan agama sendiri berasal dari fitrah manusia.

Bagi An-Na’im kasus yang terjadi di Sudan merupakan intervensi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembentukan hukum-hukum Negara terlewat batas, sebab tidak ada diferensiasi bagi setiap warga Negara yang melakukan pelanggaran tindak pidana, maka orang tersebut di hukum dengan menggunakan pola dan cara hukum yang bersumber dari syariah. Maka an-Na’im tidak sepakat dengan hal tersebut karena dinilai telah bertentangan dengan asas dan prinsip dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Terlepas dari apresiasi dan kritik yang dilontarkan pada An-Na’im, terdapat satu sub pembahasan dalam bukunya ini, yang membahas terkait tentang hukum di Indonesia. An-Na’im dengan cukup optimistis menyatakan bahwa pola penerapan hukum yang terdapat di Indonesia, walaupun sangat terindikasi polemis, setidaknya telah mengakomodir heteroginitas keagamaan yang tumbuh dan telah lama eksis di Indonesia, seperti agama-agama lokal, Islam sinkretis, dan aliran-aliran kepercayaan lainnya. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat cukup berpotensi dalam memelihara realitas keragaman dan prospek pluralisme ke depannya (untuk lebih lanjut lihat hal. 391-415)  

Sebagai pamungkas tulisan ini, apapun yang telah dilakukan oleh An-Na’im, baik itu kontroversial ataupun tidak, sumbangsihnya patut untuk diapresiasi seapresiatif mungkin. Karena secara tidak langsung, yang telah dilakukan oleh An-Na’im melalui bukunya ini adalah sebagai bentuk rekonstruksi dan langkah preskriptifnya dalam memahami syariah Islam yang dinilainya cukup kontroversial untuk diterapkan dalam bentuk formal, misalnya dalam kehidupan bernegara. 

*Mahasiswa Pascasarjana CRCS UGM

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement