Kamis 08 Apr 2021 15:04 WIB

Minyak Atsiri Jadi Bahan Konservasi Batuan Candi Borobudur

Penggunaan minyak atsiri ini yang pasti organik.

Petugas Balai Konservasi Borobudur (BKB) menyemprotkan cairan minyak atsiri serai wangi pada permukaan batu candi yang berlumut di kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jateng, Kamis (8/4/2021). BKB berhasil mengembangkan bahan alami minyak atsiri serai wangi untuk penangkal tumbuhnya lumut dan organisme lain yang merusak batuan candi sebagai upaya konservasi Candi Borobudur.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Petugas Balai Konservasi Borobudur (BKB) menyemprotkan cairan minyak atsiri serai wangi pada permukaan batu candi yang berlumut di kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jateng, Kamis (8/4/2021). BKB berhasil mengembangkan bahan alami minyak atsiri serai wangi untuk penangkal tumbuhnya lumut dan organisme lain yang merusak batuan candi sebagai upaya konservasi Candi Borobudur.

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG - Minyak atsiri dari tanaman serai wangi diresmikan sebagai bahan konservasi untuk perawatan batuan Candi Borobudur oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid.

Peresmian berlangsung di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (8/4), diawali dengan penyemprotan minyak atsiri ke batuan candi oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Ia menyampaikan minyak atsiri ini fungsinya untuk pelestarian, melindungi candi dari lumut yang memang banyak tumbuh di Candi Borobudur.

"Dengan cairan ini bisa menghilangkan lumut itu. Ini salah satu inovasi penting dari Balai Konservasi Borobudur yang selama tiga tahun melakukan riset mengembangkan teknologi ini dan sekarang sudah cukup mantap, karena sudah diuji di batu lepas dan sekarang bisa diaplikasikan di batu candi," katanya.

Ia menyampaikan penggunaan minyak atsiri ini yang pasti organik. Penggunaan bahan yang sifatnya organik ini jauh lebih aman, ramah pada lingkungan, tentunya bagi pengguna kalau dengan bahan kimia risiko bisa terpapar.

"Keuntungan yang pasti itu. Kemudian dari segi harga lebih hemat, karena minyak atsiri ini tidak tumbuh di laboratorium, tetapi tumbuhnya di masyarakat. Jadi kalau misalnya harus keluar biaya untuk itu nanti yang merasakan masyarakat," ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut merupakan investasi yang tepat bahkan masyarakat secara tidak langsung bisa menanam pohon serai wangi itu untuk menghasilkan minyak atsiri. Pengolahannya juga bisa dilakukan masyarakat, dan pemerintah yang memanfaatkan.

"Saya memandangnya sebagai ekosistem perlindungan cagar budaya yang sangat efektif. Candi ini besar sekali dan kita punya banyak sekali candi di Indonesia dan semua punya problem kurang lebih serupa dan akan memerlukan teknologi ini juga," katanya.

Ia menuturkan teman-teman di Balai Konservasi Borobudur ini sudah memproses untuk mendapatkan hak paten, tetapi demi bangsa dan negara mereka menyerahkan haknya kepada negara untuk mengelolanya.

Menurutnya, minyak atsiri akan digunakan untuk pemeliharaan dimulai yang ada di bawah Kemendikbud, tetapi tidak menutup kemungkinan situs-situs di bawah penguasaan pemerintah daerah untuk menggunakannya.

"Kalau batuan di luar negeri seperti Angkor Wat, juga punya problem yang sama. Jadi mungkin ini nanti menjadi inovasi yang bisa kita ekspor, bukan mencari duitnya tetapi ini justru untuk memperlihatkan dari Borobudur ini lahir begitu banyak inovasi," jelas dia.

Perawatan batuan Candi Borobudur pada saat pemugaran kedua (1973-1983) dan setelah pemugaran menggunakan bahan kimia. Kemudian dalam perkembangannya pada kurang lebih 10 tahun terakhir UNESCO merekomendasikan penggunaan bahan-bahan alami untuk perawatan batuan candi.

Hal tersebut kemudian menjadi cambuk bagi Balai Konservasi Borobudur sebagai site manager Warisan Dunia Candi Borobudur untuk melakukan kajian dan pengembangan metode konservasi dengan menggunakan bahan alami seperti minyak atsiri tersebut.

sumber : Antara.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement