Senin 05 Apr 2021 19:16 WIB

Jalan Tengah Penentuan Awal Ramadhan Antara Hisab dan Rukyat

Mengenal metode penentuan awal Ramadhan antara hisab dan rukyat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Jalan Tengah Penentuan Awal Ramadhan Antara Hisab dan Rukyat. Foto ilustrasi:   Petugas Hilal/Rukyat IAIN Madura mengamati posisi hilal di Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (23/4/2020). Kegiatan itu guna menentukan awal bulan Ramadhan 1441 H
Foto: SAIFUL BAHRI/ANTARA
Jalan Tengah Penentuan Awal Ramadhan Antara Hisab dan Rukyat. Foto ilustrasi: Petugas Hilal/Rukyat IAIN Madura mengamati posisi hilal di Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (23/4/2020). Kegiatan itu guna menentukan awal bulan Ramadhan 1441 H

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal untuk memulai dan mengakhiri puasa, sampai saat ini mayoritas ulama berpedoman pada rukyat, yaitu melihat bulan baru (hilal) dengan mata kepala, bukan penglihatan ilmiah dengan menggunakan perhitungan (hisab).

Guru Besar Ushul Fikih Ma’had Aly Situbondo, KH Afifuddin Muhajir telah memberikan pandangannya terkait dua metode untuk menentukan awal Ramadhan tersebut, khususnya melalui situs resmi Ma'had Aly Situbondo. Kiai Afif mengungkapkan pendapat ulama sebagai jalan tengah antara metode rukyat dan hisab. 

Baca Juga

Kiai Afif menjelaskan, jika penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan, ulama yang berpedoman pada rukyat akan menggenapkan bulan Ramadhan menjadi 30 hari.

Hal ini didasarkan hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما.

“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadhan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

Dalam hadis riwayat Ibnu Umar Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Nabi bersabda:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

“Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (ramadhan) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal syawal, jika jika hilal tertutup bagimu maka…”

Bagi jumhur, menurut Kiai Afif, sabda Nabi (فاقدروا له) merupakan tafsir/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadits yang pertama (فأكملواعدة) yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari.

Salah Seorang imam besar dari kalangan ulama Syafi’iyah, Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij sudaj mengkompromikan dua riwayat hadis di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi-dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bahwa sabda Nabi (فاقدرواله) bermakna:

“Perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisinya”.

Menurut Kiai Afif, hal ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah Swt dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi (فاكملوا عدة) ditujukan kepada mereka yang awam di bidang ilmu itu. (Fatawa al-Qardhawi).

Sedangkan yang menarik bagi Kiai Afif adalah pendapat Imam Taqyuddin al-Subki, yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar Syatha di dalam Hasyiyah I’anah al-Thalibin:

(فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع.

“Jika satu orang atau dua orang bersaksi bahwa dia atau mereka telah melihat hilal sementara secara hisab hilal tak mungkin terlihat, maka menurut al-Subki kesaksian itu tidak diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yang bersifat dugaan tisak bisa mengalahkan yang pasti."

Kiai Afif menjelaskan, substansi dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tidak dalam rangka menetapkan.

الحساب حجة في النفي لا في الإثبات

Sayyid Abu Bakar Syatha mengomentari pendapat Imam al-Subki tersebut dengan mengatakan:

والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب

"Menurut yang muktamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak muktabar (tidak masuk hitungan)."

Alasan Imam al-Subki : (لان الحساب قطعي والرؤية ظنية) untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar-benar meyakinkan (قطعي).

Dengan ilmu ini, menurut Kiai Afif, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya.

Dengan begitu akuratnya ilmu astronomi saat ini maka rukyat yang semula bersifat dugaan kuat (مظنونة)، ketika bertentangan dengan hisab turun menjadi sesuatu yang diragukan (مشكوك فيها), bahkan hanya bersifat asumsi saja (موهومة).

Kiai Afif mengatakan, pendapat Imam al-Subki ini merupakan jalan tengah(المنهج الوسطي), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dan yang fanatik hisab.

Jika pemerintah berpegang pada pendapat ini, menurut Kiai Afif, maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal (الترائي)، ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bahwa hilal tidak mungkin dirukyat.

تصحيح :

١. فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما

٢. فإن غمٌ عليكم فاقدروا له

وان كان أحدهما تفسيرا للآخر فالصواب أن المفسٌر هو الاول للثاني المجمل ، لا العكس

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement