Jumat 02 Apr 2021 12:50 WIB

Ilmuwan Kaji Efektivitas Vaksin dalam Jangka Panjang

Saat ini belum diketahui apakah vaksinasi mengurangi kebutuhan penggunaan masker.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Vaksin Covid 19 (ilustrasi)
Foto: Flickr
Vaksin Covid 19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim mahasiswa di University of California, San Diego, Amerika Serikat (AS) melakukan uji klinis yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas vaksin untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (COVID-19) dalam jangka panjang.

Dilansir Eurekalert, vaksin COVID-19 dirancang untuk mengurangi kemungkinan infeksi dengan gejala parah. Dalam hal ini, seluruh vaksin yang disetujui oleh otoritas kesehatan AS seperti Moderna, Pfizer, dan Johnson & Johnson terbukti efektif.

Baca Juga

Namun, masih sedikit yang diketahui mengenai kemampuan sebenarnya dari vaksin tersebut untuk mencegah infeksi dalam kasus COVID-19 tanpa gejala, di mana dalam kondisi ini penularan dapat tetap berlangsung. Penelitian baru menunjukkan tentang pekerja medis yang divaksinasi memiliki risiko infeksi lebih kecil, namun tetap mungkin.

Penelitian lanjutan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan bahwa vaksin Moderna dan Pfizer sangat efektif dalam mencegah infeksi simptomatik dan asimtomatik, diantara kohort yang lebih besar dari pekerja perawatan kesehatan yang divaksinasi dan penanggap pertama. Sementara, tim peneliti di University of California (UC) San Diego melakukan uji Klinik selama lima bulan secara acak dan terkontrol, yang akan melibatkan sekitar 12.000 mahasiswa berusia 18 hingga 26 tahun.

Separuh dari mahasiswa akan menerima vaksinasi Moderna dan lainnya akan divaksinasi menjelang akhir penelitian. Uji coba dilakukan di bawah naungan COVID-19 Prevention Network (CoVPN), kolaborasi jaringan penelitian penyakit menular dan mitra yang berpartisipasi. CoVPN dibuat oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases dan berkantor pusat di Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle.

Vaksin Moderna adalah vaksin mRNA, yang memberikan instruksi kepada sel-sel bagaimana menghasilkan sepotong protein lonjakan karakteristik SARS-CoV-2 yang tidak berbahaya yang mengatur sistem kekebalan tubuh untuk kemudian mengenali dan menangkis paparan virus. Vaksin membutuhkan dua dosis suntikan, dengan jarak  pemberian masing-masing sekitar 28 hari.

“Uji coba vaksin tahap ketiga yang sedang berlangsung tidak dirancang untuk memperkirakan seberapa baik ini dalam mencegah infeksi, khusus infeksi tanpa gejala atau kemanjuran dalam mengurangi pelepasan virus dan risiko penularan,” ujar Susan Little, profesor di bidang kedoteran dari UC San Diego sekaligus peneliti utama dalam studi.

Little mengatakan tidak mengetahui apakah vaksinasi mengurangi kebutuhan penggunaan masker dan jarak sosial, termasuk tentang apakah vaksin perlu diwajibkan di lingkungan tertentu. Ia mengatakan sangat penting untuk memiliki pemahaman lebih baik tentang seberapa efektif vaksin COVID-19 dalam mengurangi infeksi pada orang lain, baik untuk individu maupun menetapkan kebijakan kesehatan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement