Jumat 02 Apr 2021 08:16 WIB

Benarkah Generasi Milenial Pemalas?

quo vadis generasi rebahan

produk teknologi masa kini
Foto: google.com
produk teknologi masa kini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller.

Generasi rebahan diidentikkan dengan generasi milenial. Kata rebahan ini bermakna malas, tidak produktif, melewatkan kesempatan, tidak mempunyai target, serba instan, tidak menghasilkan apa-apa.

Survei itu dilakukan oleh Majalah Times. Selain pemalas, para milenial juga sering dianggap enggan bekerja keras, narsis, bergantung pada teknologi, inginnya langsung mendapatkan sesuatu tanpa berkeringat.

Seakan belum cukup, ditambahkan kalau kita mengetik kata "milenial adalah" di mesin pencari Google, maka kata "malas" langsung muncul melengkapi pencarian itu.

Waduh! Benarkah demikian?

Saya coba merenungkan. Saya tidak yakin apakah malas merupakan kata yang tepat untuk dilekatkan. Milenial adalah generasi yang cerdas. Sebagai native gadget, mudah sekali beradaptasi dengan teknologi. Tak ragu mencoba hal baru dan berani mengambil risiko.

Tapi kalau inginnya serba instan dan angot-angotan, alias semangat hanya muncul di awal setelah itu “gone with the wind”, itu saya rasakan betul. 

Woles, kata mereka, yang seringkali membuat gemas. Saya terlibat dalam dalam banyak kegiatan dengan anak-anak muda ini. Saya tandai, semangatnya hanya sebentar, setelahnya seperti mendorong mobil mogok. 

Istiqamah memang bukan perkara mudah. Sekadar semangat di awal saja, tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Para alim terdahulu telah menyontohkan bagaimana menjaga api semangat supaya berkobar selamanya.

Ibnu Jauzi mengatakan, “Perjalanan Imam Ahmad bin Hambal untuk bisa menulis kitab Musnad-nya sama dengan keliling dunia sebanyak 2 kali.” Dalam waktu yang panjang, Imam Ahmad menuliskan satu per satu ilmunya tanpa pernah bosan.

Begitupun semangat Abdullah bin Hamud Az Zubaidi yang rela tidur di kandang ternak gurunya setiap malam agar bisa mendahului murid-murid yang lain. Tujuannya, ia ingin mengajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya pada gurunya.

Tak hanya waktu, totalitas juga mereka tunjukkan dengan pengorbanan harta.

“Ayahku memberiku 100.000 dirham dan berkata, pergilah untuk belajar hadits dan aku tidak mau melihat wajahmu kecuali kamu pulang membawa 100.000 hadits,” kisah Ali bin Ashim.

Yahya bin Ma’in mendapat 100.000 dirham dari ayahnya. Ia membelanjakan semuanya untuk belajar hadits, tidak ada yang tersisa kecuali sandal yang dipakainya.

MasyaAllah!

Kemana perginya semangat para alim terdahulu ini? Karenanya, saya angkat topi untuk anak muda yang menjadi bagian dari penggerak perubahan.

Quo vadis generasi rebahan?

Jakarta, 1/4/2021

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement