Jumat 02 Apr 2021 00:51 WIB

ICW Kritisi Kunjungan Firli Bahuri Cs ke Lapas Sukamiskin

Kunjungan ini sangat tak berdasar dan justru memutarbalikkan logika berantas korupsi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Firli Bahuri (kanan) dan Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum (kiri) mengangkat telapak tangan simbol antikorupsi saat penyuluhan antikorupsi kepada para narapidana asimilasi, di Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Rabu (31/3). Penyuluhan tersebut untuk membangun komunikasi dengan para narapidana kasus tindak pidana korupsi agar tidak mengulangi perbuatannya dan mau ikut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi.
Foto: Humas Pemprov Jawa Barat
Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Firli Bahuri (kanan) dan Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum (kiri) mengangkat telapak tangan simbol antikorupsi saat penyuluhan antikorupsi kepada para narapidana asimilasi, di Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Rabu (31/3). Penyuluhan tersebut untuk membangun komunikasi dengan para narapidana kasus tindak pidana korupsi agar tidak mengulangi perbuatannya dan mau ikut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi kunjungan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri ke lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi kepada para napi koruptor. ICW menilai, tindakan ini sangat tidak berdasar dan justru memutar-balikkan logika pencegahan pemberantasan korupsi. 

"Satu hal yang mengejutkan, salah satu pejabat tinggi KPK justru menyebut para pelaku korupsi itu sebagai penyintas. Padahal, korupsi merupakan kejahatan struktural, dimana pelaku utamanya adalah mereka yang saat ini dijebloskan ke Sukamiskin, sementara korban korupsi adalah masyarakat luas," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan yang diterima Republika, Kamis (1/4) 

Kurnia menekankan, akibat perilaku korupsi banyak jalan rusak, jembatan ambruk, gedung sekolah tidak bisa digunakan, kualitas pelayanan publik buruk dan merugikan warga masyarakat. Sehingga, jika pelaku korupsi adalah penyintas dalam pikiran pejabat KPK, lalu masyarakat dianggap sebagai apa. 

"Ini merupakan cacat logika yang merupakan turunan dari kerusakan dalam alur pikir keseluruhan program kunjungan pencegahan dan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin," tegas dia.

Setidaknya ada empat poin penting yang ingin disampaikan ICW menanggapi kunjungan tersebut. Pertama, kegiatan sosialisasi antikorupsi ke Lapas Sukamiskin dapat disebut pemborosan anggaran. Sebab, hasil yang didapatkan dari kegiatan itu hampir bisa dipastikan nol besar.

Kedua, secara nilai, sosialisasi ke Lapas Sukamiskin bertentangan dengan Pasal 4 UU KPK. Regulasi itu menyebutkan bahwa KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. 

"Pertanyaan pun muncul: apa hasil guna kegiatan sosialisasi pencegahan tersebut?," ucap Kurnia. 

Ketiga, pencegahan KPK ke Lapas Sukamiskin sudah jelas salah sasaran. Betapa tidak, sosialisasi yang harusnya menyasar masyarakat selaku korban korupsi, malah mendatangi pelaku kejahatan. Semestinya KPK menitikberatkan isu sosialisasi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi.

Keempat, kebijakan melakukan sosialisasi ke warga binaan akan semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap KPK. 

Perlu untuk diingat, sepanjang tahun 2020 praktis ada delapan lembaga survei yang telah mengonfirmasi hal tersebut. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement