Jumat 02 Apr 2021 00:10 WIB

Kala Rakyat Iran Mengatakan "Ya" Terhadap Republik Islam

Rakyat Islam melaksanakan referendum menuju Republik Islam

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nashih Nashrullah
 Orang-orang menghadiri rapat umum yang menandai peringatan 42 tahun Revolusi Islam 1979, di alun-alun Azadi (Kebebasan) di Teheran, Iran. (ilustrasi
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Orang-orang menghadiri rapat umum yang menandai peringatan 42 tahun Revolusi Islam 1979, di alun-alun Azadi (Kebebasan) di Teheran, Iran. (ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Salah satu slogan yang menonjol selama demonstrasi Revolusi Islam pada 1979 adalah slogan yang diterjemahkan menjadi 'Kemerdekaan, Kebebasan, Republik Islam'. 

Kala itu, pendiri Revolusi Islam Ayatollah Khomeini memerintahkan pihak berwenang untuk mengadakan referendum sesegera mungkin dan referendum bersejarah diadakan pada 30 dan 31 Maret 1979. Referendum yang diadakan sekitar dua bulan setelah kemenangan atas rezim Pahlavi yang didukung Amerika Serikat itu dilakukan di seluruh negeri. 

Baca Juga

Hasilnya diumumkan sehari kemudian pada 1 April dan menunjukkan 98,2 persen suara 'Ya' untuk Republik Islam. Hari itu kemudian dinamai 'Hari Republik Islam' dalam kalender Iran dan menjadi hari libur nasional.

Dilansir dari MEHR News Agency, Referendum yang disuarakan menyampaikan pesan ini kepada dunia, pendirian baru di Iran didasarkan pada dua hal, yakni nilai-nilai Islam dan demokrasi. 

Hal tersebut mengakhiri monarki di Iran yang berlangaung sekitar 2.500 tahun lamanya.

Sejak saat itu, Iran telah mengadakan puluhan pemilihan untuk parlemen, kepresidenan, dewan kota, dan majelis ahli. Semua itu dilaksanakan dengan alasan untuk membuktikan sistem tersebut didasarkan pada suara rakyat.

Republik Islam Iran adalah paket berharga dari bentuk nasional-Islam baik di dalam maupun di luar negeri.  Dalam empat dekade terakhir, setiap peristiwa politik atau sosial di Iran, yang bisa dikategorikan sebagai masalah internal, telah menjadi topik penting di kancah internasional. 

Itu disebabkan karena beberapa negara memandang Republik Islam Iran sebagai pola unik. Suatu pola unik yang mampu menjalin hubungan yang kokoh antara sistem republik dan Islam.

Hubungan tersebut telah mengubah definisi perhelatan sosial dan politik itu dari definisi di Barat. Dengan kata lain, pemilu di Iran jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara Barat yang hanya mengandalkan demokrasi yang terkendali.

Demokrasi dan Islam saling melengkapi dan itulah mengapa Revolusi Islam dan para pemimpinnya menunjukkan pentingnya kombinasi ini dan sangat menghormatinya.

Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, yang mengambil alih kepemimpinan negara setelah kematian Imam Khomeini pada 1989, menjelaskan pentingnya hari itu dalam sebuah wawancara.

"Singkatnya, Hari Republik Islam adalah titik temu yang tak tertandingi dalam sejarah negara kami karena mengantarkan kemapanan populer dan ilahi untuk pertama kalinya sejak hari-hari awal Islam dan sejak peralihan singkat tahun-tahun awal penaklukan Iran oleh umat Islam," ujar dia.

“Intinya, ingatan ini tidak sebanding dengan ingatan yang lain dalam sejarah negara kami. Itu melengkapi Revolusi," sambung dia. 

Sumber: mehrnews 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement