REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Jumlah kasus penyakit tuberkulosis di Indonesia berada di peringkat kedua dunia setelah India. Sebagian dari jumlah penderita telah mengalami resistensi obat (TBC-RO) dan hanya 49 persen pasien yang sudah memulai pengobatan.
Melihat hal itu, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bekerja sama dengan USAID Amerika menyusun program Mentari. Program ini bertujuan untuk membentuk jaringan rumah sakit rujukan layanan TBC-RO. RS Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjadi salah satu RS rujukan untuk hal tersebut.
Dokter Spesialis Paru RS UMM, Thahrir Iskandar menjelaskan, penunjukan ini hasil dari keberhasilan RS UMM dalam menyembuhkan pasien TBC. Selain itu, pemilihan ini memang langsung dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). "Dan juga USAID tanpa ada pengajuan," kata Tharir.
Program Mentari merupakan bentuk kontribusi Muhamamadiyah bagi bangsa dan negara. Seiring berjalannya program ini, Muhammadiyah berusaha sebaik mungkin untuk menekan dan menurunkan angka pengidap TBC di Indonesia. Program penanggulangan ini berjalan dari 2020 hingga 2030 dengan harapan penderita TBC bisa berkurang signifikan.
Adapun mengenai TBC-RO, Tharir menegaskan, ini berbeda dengan TBC pada umumnya. Penderita TBC-RO lebih kebal terhadap obat daripada yang biasa. Hal ini membuat obat yang diberikan tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Penanganannya juga lebih sulit dan kompleks ketimbang TBC pada umumnya.
Thahrir berharap angka pengidap TBC yang tinggi bisa segera menurun terutama TBC-RO. Ia juga ingin agar RS UMM bisa menjadi opsi masyarakat untuk berobat tanpa harus bergantung kepada RS Negeri. "Khusunya bagi mereka yang ada di Malang,” ucapnya dalam keterangan pers yang diterima Republika, Rabu (31/3).