Rabu 31 Mar 2021 19:10 WIB

Kendala Pemkot Bogor Untuk Gunakan TPPAS Lulut Nambo

Kondisi sampah yang dibawa ke Lulut Nambo harus dalam keadaan minim kadar air.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Bilal Ramadhan
Warga melintas di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo.
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warga melintas di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor belum menggunakan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Lulut Nambo di Kabupaten Bogor sebagai tempat pembuangan akhir sampah. Hingga beberapa tahun ke depan, Pemkot Bogor masih menggunakan tempat pembuangan akhir (TPA) Galuga.

Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim menjelaskan, terdapat beberapa kendala yang dimiliki Pemkot Bogor dalam menggunakan TPPAS Lulut Nambo. Di antaranya, Pemkot Bogor harus menyiapkan terminal sebelum mengirim sampah ke TPPAS Lulut Nambo.

Berdasarkan keterangan Dedie, kondisi sampah yang dibawa ke Lulut Nambo harus dalam keadaan minim kadar air. Sehingga, Pemkot Bogor harus menyiapkan tempat yang akan berfungsi sebagai terminal itu.

“Kendalanya, kalau kita mau memanfaatkan Lulut Nambo sebagai tempat pembuangan akhir sampah, Kota Bogor harus menyiapkan terminal antara sampah. Jadi diolah, di-press dulu, karena ada ketentuan pada saat dikirim ke Lulut Nambo itu dalam kondisi kadar air yang minimum,” kata Dedie.

Masih kata Dedie, dia menuturkan, jikalau Pemkot Bogor telah memiliki tempat yang akan berfungsi sebagai terminal, Pemkot Bogor belum memiliki jalan menuju tempat tersebut. “Artinya kan kita harus menyiapkan tempat, kita belum punya tempatnya. Kalau ada tempatnya, belum ada jalannya,” tuturnya.

Selain itu, lanjut Dedie, diperlukan compacting truck atau truk dengan mesin peras. Dimana truk tersebut dapat melakukan processing terhadap sampah, agar air yang terdapat dalam sampah harus diperas terlebih dahulu sebelum dibawa ke TPPAS Lulut Nambo.

“Nah kita belum punya berarti harus beli dulu. Itu tantangan yang kedua,” ujarnya.

Di samping itu, untuk menggunakan TPPAS Lulut Nambo, Pemkot Bogor harus berkontribusi dalam memberikan tipping fee atau biaya yang perlu dibayarkan untuk pengembangan energi berbasiskan sampah. Dimana, kata Deddie, tipping fee yang wajib dibayar Pemkot Bogor ketika memanfaatkan TPPAS Lulut Nambo yakni senilai sekitar Rp 275 ribu untuk 1 ton sampah.

Padahal, kata Dedie, produksi sampah di Kota Bogor per-hari mencapai kurang lebih 600 ton. Sehingga, jika dikalikan selama setahun, Pemkot Bogor harus menyiapkan anggaran miliaran rupiah untuk TPPAS Lulut Nambo.

“Bayangkan 1 ton itu nilainya kalau nggak salah sekitar Rp 275 ribu ya, sementara produksi sampah kota Bogor per-hari itu kurang lebih 600 sampai 700 ton per-hari. Dikali 365 hari, berapa miliar harus kita bersiapkan anggarannya belum kita alokasikan,” jelasnya.

Dengan ketiga kendala tersebut, Dedie mengatakan, Pemkot Bogor masih belum berencana memindahkan pengiriman sampah dari TPA Galuga ke TPPAS Lulut Nambo. Apalagi, di lahan seluas 38 hektare milik Pemkot Bogor di TPA Galuga, Pemkot Bogor berencana membangun buffer zone yang bisa dimanfaatkan masyarakat, atau sektor industri yang membutuhkan.

Misal, lanjutnya, sampah organik untuk pabrik pupuk bisa diolah di buffer zone tersebut. Namun, saat ini Pemkot Bogor tengah membuat studi terkait perizinan penggunaan buffer zone.

“Nah tentu kita juga enggak mau semua 38 jektare itu jadi tempat sampah. Makanya kita sedang merencanakan ada satu buffer zone ya untuk masyarakat atau industri yang memanfaatkan sampah bisa memanfaatkan di lokasi tersebut,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement