Selasa 30 Mar 2021 19:10 WIB

Jumlah Anak Sulit Membaca Meningkat Akibat Pandemi

UNESCO telah menyerukan agar sekolah dibuka kembali

Rep: Inas Widyanuratikah / Red: A.Syalaby Ichsan
Seorang gadis belajar online dari rumah di Kolkata, India, 15 Oktober 2020 (dikeluarkan 16 Oktober 2020).
Foto: EPA-EFE/PIYAL ADHIKARY
Seorang gadis belajar online dari rumah di Kolkata, India, 15 Oktober 2020 (dikeluarkan 16 Oktober 2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mencatat, pandemi menyebabkan peningkatan jumlah anak yang mengalami kesulitan memahami keterampilan membaca dasar. Jika sebelumnya jumlah anak yang kesulitan memahami bacaan dasar sebanyak 460 juta, tahun 2020 angkanya meningkat menjadi 584 juta.

Sejak awal pandemi Covid-19, pembatasan kegiatan belajar telah mengganggu hampir seluruh siswa di dunia dan membuat anak-anak mengalami learning loss. Kerugian akibat pembatasan ini diperkirakan paling tinggi terjadi di Amerika Latin dan Karibia, serta di Asia Tengah dan Selatan.

Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, selama satu tahun dunia telah memasuki lockdown dan dunia pendidikan berubah. "Dalam beberapa pekan, hampir 1,6 juta ssiwa, atau 91 persen anak usia sekolah terdampak penutupan sekolah," kata Audrey, dalam telekonferensi internasional, dipantau di Jakarta, Selasa (30/3).

Audrey menjelaskan, krisis pendidikan ini harus segera diatasi. Seluruh dunia tidak bisa diam saja dengan kondisi yang ada, karena jika tidak dilakukan apapun, maka akan meningkatkan risiko semakin banyaknya orang yang terpinggirkan dan miskin.

Dilansir di laman resmi UNESCO, dunia memang mungkin kembali ke masa-masa sebelum terjadinya pandemi. Namun, paling tidak pemulihan dapat terjadi pada tahun 2024 jika upaya luar biasa dilakukan untuk menyelesaikan pandemi ini.

UNESCO mencatat, jumlah siswa yang terkenda dampak penutupan sekolah tidak berubah secara signifikan sejak awal pandemi. Negara-negara pun saat ini perlahan mulai mengambil tindakan untuk membuka sekolah, setidaknya sebagian.

"Laporan tersebut menunjukkan bahwa sekolah saat ini dibuka secara penuh di 107 negara, sebagian besar di Afrika, Asia, dan Eropa, melayani 400 juta pelajar pra-sekolah hingga dasar dan menengah," tulis UNESCO.

UNESCO telah menyerukan agar sekolah dibuka kembali dengan dukungan yang diberikan dari pemerintah untuk guru. UNESCO juga mendorong agar pemerintah negara melakukan inisiatif untuk mencegah siswa putus sekolah dan melakukan percepatan ketersediaan perangkat pembelajaran digital.

Pemulihan dari pandemi ini harus memprioritaskan sekolah untuk mengurangi angka putus sekolah. Namun, UNESCO juga memperkirakan 65 persen pemerintah dari negara berpenghasilan rendah telah mengurangi pendanaan terhadap pendidikan, dibandingkan dengan 35 persen negara lain yang berpenghasilan tinggi.

Sementara itu, Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan krisis pandemi ini sudah mengganggu kegiatan sekolah yang tak tergantikan. Menurutnya, belajar di kelas, bertemu dengan guru dan melakukan pembelajaran secara langsung tidak bisa digantikan dengan pembelajaran jarak jauh.

Namun, ia mengatakan di tengah pandemi yang melanda dunia ini ini, hampir semua negara menerapkan pembelajaran jarak jauh. "Walaupun mereka jauh dari cukup fasilitas pembelajarannya," kata Antonio.

Baginya, krisis ini sudah memakan banyak korban pada pengajar, guru dan orang tua. Begitu banyak siswa juga telah terpengaruh oleh penutupan sekolah ini. Oleh karena itu, menurut Antonio saat ini yang terpenting adalah setiap negara menjaga dan melindungi sektor pendidikan.

Menanggapi hal ini, UNESCO mengadakan pertemuan menteri untuk berdiskusi dengan tema memprioritaskan pemulihan pendidikan untuk menghindari bencana generasi. Pertemuan ini membahas tiga masalah utama dalam agenda kebijakan pendidikan, yaitu pembukaan kembali sekolah dan mendukung guur, mengurangi angka putus sekolah, dan mempercepat transformasi digital.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement