Selasa 30 Mar 2021 15:31 WIB

PHRI Kecewa Pemerintah Larang Masyarakat Mudik

PHRI kehilangan momentum Lebaran yang biasanya meningkatkan okupansi hotel.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Aktivitas di restoran hotel. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mudik pada momen Lebaran tahun ini. Pasalnya, kebijakan tersebut akan menghilangkan potensi peningkatan okupansi yang telah diharapkan para pengusaha.
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Aktivitas di restoran hotel. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mudik pada momen Lebaran tahun ini. Pasalnya, kebijakan tersebut akan menghilangkan potensi peningkatan okupansi yang telah diharapkan para pengusaha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mudik pada momen Lebaran tahun ini. Pasalnya, kebijakan tersebut akan menghilangkan potensi peningkatan okupansi yang telah diharapkan para pengusaha.

Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, mengatakan, dalam setahun terdapat tiga pergerakan besar yang menjadi momentum bagi industri hotel dan restoran. Di antaranya mudik saat momen Lebaran, libur Hari Natal dan Tahun Baru, serta masa liburan sekolah.

Baca Juga

"Dalam tahun ini kita sudah kehilangan satu momentum mudik. Padahal 2020 kita sudah kehilangan momentum besar itu," kata Maulana kepada Republika.co.id, Selasa (30/3).

Ia mengatakan, janji pemerintah untuk memindahkan masa liburan lebaran 2020 ke akhir tahun juga nyatanya kembali dipangkas. Hal itu disertai dengan kebijakan yang lebih ketat bagi masyarakat jika ingin melakukan perjalanan jarak jauh.

 

Maulana menuturkan, momen Lebaran biasanya memberikan peningkatan okupansi hotel antara 30-40 persen sehingga okupansi bisa bergerak pada level 80-90 persen. Dengan kebijakan larangan mudik tahun ini, harapan akan peningkatan okupansi tersebut hilang.

Saat ini, kata dia, rata-rata okupansi hotel di kisaran 30 persen. Rendahnya tingkat okupansi pada kuartal pertama memang biasa terjadi.

Peningkatan okupansi biasa mulai terjadi pada kuartal kedua, khususnya untuk segmen business tourism atau kegiatan perjalaan untuk tujuan pekerjaan bukan wisata. Itu seiring dengan dimulainya pencairan anggaran termasuk pada lembaga pemerintah.

"Hotel itu kan tidak mengantongi keuntungan setiap bulan, paling ya sekitar delapan bulan dalam setahun yang efektif. Tapi di situasi pandemi ini akan menjadi masalah," kata dia.

Menurut Maulana, bagi pengusaha hotel dan restoran saat ini, lawan bisnis ada pada kekuatan masing-masing dari pelaku usaha itu sendiri. Sejauh mana pelaku usaha dapat mempertahankan lini bisnisnya di tengah tekanan yang kuat akibat masa pandemi Covid-19 yang belum usai.

"Sekarang lawannya adalah daya tahan dari masing-masing pelaku," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement