Senin 29 Mar 2021 10:24 WIB

Pejabat Sebut H&M Tidak Bisa Bertahan di Pasar China

H&M memyatakan tidak akan lagi mengambil kapas dari Xinjiang.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
 Seorang pria berjalan melalui toko pakaian H&M di Hong Kong, Sabtu (27/3). H&M menghilang dari internet di China ketika pemerintah meningkatkan tekanan pada merek sepatu dan pakaian dan mengumumkan sanksi pada hari Jumat (26/3), terhadap pejabat Inggris di pertarungan sengit atas keluhan pelanggaran di wilayah Xinjiang.
Foto: AP / Kin Cheung
Seorang pria berjalan melalui toko pakaian H&M di Hong Kong, Sabtu (27/3). H&M menghilang dari internet di China ketika pemerintah meningkatkan tekanan pada merek sepatu dan pakaian dan mengumumkan sanksi pada hari Jumat (26/3), terhadap pejabat Inggris di pertarungan sengit atas keluhan pelanggaran di wilayah Xinjiang.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pejabat China pada Senin (29/3) memperingatkan peritel mode Swedia H&M untuk melihat masalah Xinjiang dengan serius. Perusahaan tersebut telah menghadapi boikot konsumen atas komentar yang dibuatnya tahun lalu tentang kondisi tenaga kerja di wilayah barat China.

H&M menghadapi reaksi publik di China sejak minggu lalu, ketika pengguna media sosial mengedarkan pernyataan yang dibuat perusahaan pada tahun 2020. Pernyataan itu mengumumkan tidak akan lagi mengambil kapas dari Xinjiang.  

H&M mengatakan keputusan itu karena kesulitan melakukan uji tuntas yang kredibel di wilayah tersebut dan setelah media dan kelompok hak asasi manusia melaporkan penggunaan kerja paksa di Xinjiang.

China telah berulang kali membantah tuduhan tersebut, serta tuduhan pelanggaran hak asasi manusia lainnya terhadap minoritas Muslim Uighur di wilayah tersebut.

Juru bicara pemerintah daerah Xinjiang, Xu Guixiang mengatakan kepada wartawan bahwa perusahaan tersebut tidak boleh mempolitisasi perilaku ekonominya. Ia juga mengatakan bahwa H&M tidak akan dapat menghasilkan uang lagi di pasar China karena pernyataannya.

Xu pada hari Senin (29/3) juga menuduh Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa dan Kanada terlibat dalam manipulasi politik untuk membuat China tidak stabil. Ini menyusul sanksi terkoordinasi yang dijatuhkan terhadap Beijing pekan lalu atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement