Senin 29 Mar 2021 05:36 WIB

Dibangunkan Jenderal Syarwan Hamid dan Profesor Arbi Sanit

Syarwan Hamid adalah salah satu jenderal yang jadi target untuk 'dibunuh'.

Pengamat politik Universitas Indonesia, Prof Arbi Sanit .
Foto: Republika/Agung Fatma Putra
Pengamat politik Universitas Indonesia, Prof Arbi Sanit .

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Untuk mendapatkan narasumber yang berbobot tinggi, perlu trik ekstrem. Di luar kelaziman. Itu tantangan wartawan. Suatu ketika, saya putuskan pulang dari kantor ke rumah Arbi Sanit. Pengamat politik.

Sampai di rumahnya, kompleks dosen Universitas Indonesia (UI) Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, sudah hampir pukul 00.00 WIB. Lampu ruang tamunya sudah padam. Saya nekat. Masuk ke pekarangan rumahnya. Pintu pagar tidak digembok. Saya duduk di teras rumahnya. Akhirnya tertidur. Mungkin karena sudah lelah.

Arbi Sanit adalah guru bagi sarjana ilmu politik. Dia yang membawa gerbong dosen-dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI ke Universitas Nasional (Unas) pada awal 1980-an. Sehingga sekitar 70 persen dosen FISIP Unas adalah dosen UI. Kampus tempat saya belajar ilmu politik.

Subuh hari, saya dibangunkan Arbi Sanit. Dia tidak marah. Padahal cara yang saya tempuh, jelas salah. Seperti maling.

"Jam berapa kamu sampai sini?"

"Hampir pukul 12 malam, Pak," jawab saya.

"Saya sudah tidurlah"

Lalu saya disuruh masuk. Bla bla bla... Dapat sarapan plus wawancara.

"Pagi ini, saya mau ke UI Depok. Kamu mau ke mana?"

"Ke Depok juga, Pak."

"Ayo bareng."

Nah.. Saya menang banyak. Dapat sarapan, dapat wawancara saat fresh, dapat tebengan pula. Lanjut wawancara lagi dalam perjalanan ke Depok.

Begitulah nikmatnya 'kegilaan' wartawan. Untung tidak ditangkap hansip.

Dibangunkan Subuh oleh jenderal bintang dua. Juga saya alami. Mayjen Syarwan Hamid. Saya datang ke kantornya di Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Sekitar pukul 05.00 WIB, dia buka pintu ruang press room. Sebelah press room, ruang kerja Kapuspen ABRI. Saya sedang tidur di kursi, depan meja mesin faximile.

"Kamu tidur di sini?"

"Iya, Jenderal."

"Cari info apa?"

"Mau wawancara, Jenderal."

Saya tidak bilang kalau sedang mencari info dari mesin fax tersebut. Biasanya info dari seluruh Indonesia terkait TNI/Polri dikirim ke mesin fax Puspen ABRI.

Ada piket yang jaga. Nah, saya temani piket tersebut. Supaya dapat info paling awal dibandingkan wartawan lain.

Akhirnya, saya diajak masuk ke ruang kerja Kapuspen. Ia baru naik pangkat Mayjen untuk posisi baru, Asisten Sososial Politik (Asospol) ABRI.

Wawancara sambil makan singkong, ubi, pisang, dan kacang rebus. Sebelum matahari menampakkan batang hidungnya, saya sudah menang banyak.

Syarwan bukan sarjana ilmu politik. Tapi di rak bukunya penuh dengan buku-buku wajib bagi mahasiswa ilmu politik. Termasuk buku karya Arbi Sanit tentang sistem politik dan sistem kepartaian serta keterwakilan politik.

Pada era 1995-1997, saya berurut-turut memenangi lomba menulis tentang ABRI. Mau tahu rahasianya? Itulah berkah dari wawancara dengan dua tokoh tersebut. Saya ambil intisari pemikirannya.

Dan banyak yang tidak tahu. Syarwan adalah salah satu jenderal yang jadi target untuk 'dibunuh'. Karena ia wakil ketua MPR utusan ABRI yang menyetujui pelengseran Presiden Soeharto. Syarwan lolos dari upaya 'pembunuhan' tersebut.

Pada Kamis, 25 Maret 2021, saya kehilangan dua narasumber brilian, Letjen (Purn) Syarwan Hamid dan Prof Arbi Sanit. Saya ingin ke rumah duka keduanya. Tapi terkendala waktu dan jarak.

Akhirnya, saya putuskan ke KPAD Bulak Rantai. Menemui Bu Endang Agustini, istri almarhum Syarwan Hamid. Setelah menjadi Asospol ABRI, Syarwan naik menjadi Kepala Staf Sospol (Kasospol) ABRI, Wakil Ketua MPR, dan Menteri Dalam Negeri era Presiden BJ Habibie

Di rumah duka tersebut, saya lihat ada satu halaman koran Republika dipigura. Isinya ucapan selamat dari Pemred Republika Parni Hadi untuk promosi Syarwan dari Kapuspen menjadi Asisten Sospol ABRI. Lengkap dengan berita dan foto besar Mayjen Syarwan.

Saya juga mengikuti prosesi pemakaman secara militer di TMPNU Kalibata, Jakarta Selatan. Terlihat ada Mendagri Jenderal Polisi (Purn) M Tito Karnavian.

Sedangkan Prof Arbi dimakamkan di TPU Tonjong, Parung, Bogor. Saya lihat di media sosial, banyak karangan bunga untuk Arbi. Dia unik, hanya Drs (sarjana ilmu politik), tapi berhasil meraih guru besar (profesor). Beberapa profesor ilmu politik dari Unas dan UI adalah murid-murid Arbi.

Kedua almarhum adalah guru bagi saya untuk memahami ilmu militer dan ilmu politik. Maafkan kelancangan-kelancangan saya sebagai wartawan.

Selamat jalan, Prof Arbi.

Selamat jalan, Jenderal Syarwan.

Semoga tenang di sisi Allah SWT.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement