Ahad 28 Mar 2021 22:23 WIB

Gunakan Kuitansi Bodong untuk Transaksi, Begini Hukumnya

Praktik muamalah harus dilakukan dengan cara yang halal dan thayyib

Ketua Kelompok Pokmas Tibu Harapan Desa Dara Kunci Purna (40) menunjukkan kwitansi untuk pemindahbukuan rekening ke rekening aplikator dana bantuan gempa untuk tahap pertama bagi tiga belas kepala keluarga anggotanya di Dusun Pedamekan, Desa Sambelia, Lombok Timur, NTB, Kamis (18/10/2018).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Ketua Kelompok Pokmas Tibu Harapan Desa Dara Kunci Purna (40) menunjukkan kwitansi untuk pemindahbukuan rekening ke rekening aplikator dana bantuan gempa untuk tahap pertama bagi tiga belas kepala keluarga anggotanya di Dusun Pedamekan, Desa Sambelia, Lombok Timur, NTB, Kamis (18/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Penggunaan kuitansi yang berbeda dengan nilai jual beli atau bantuan sudah jamak dilakukan. Bantuan dari instansi atau departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dianggap sebagai hal yang wajar. Ada juga praktik tender yang menggunakan invoice atau tanda terima tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang dibayarkan. Selisih dari nilai tersebut digunakan sebagai fee, uang lelah untuk para pegawai penyelenggara tender. 

Praktik muamalah harus dilakukan dengan cara yang halal dan thayyib. Allah SWT jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita untuk tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil. “Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa. Padahal, kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 188). 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemilik piutang tidak memiliki bukti kuat. Lelaki tersebut pun mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim. Padahal, dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak. Dia pun sadar berada pada pihak yang salah dan memakan harta haram. 

Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak mengubah hakikat sesuatu. Hakim hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya saja. Untuk itu, apabila keputusannya sesuai dengan hakikat permasalahan, maka demikian yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak sesuai, si hakim tetap mendapat pahalanya. Sementara, penanggung dosa ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya.  

Invoice, kuitansi atau bon adalah tanda bukti yang tidak boleh dipalsukan. Terlebih, pemalsuan ini dilakukan untuk mendapatkan selisih dana dari hasil bantuan. Pengelabuan dalam jual beli dan bermuamalah dilarang Allah SWT. Saat menjelaskan QS an Nisa ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.”  Imam Ibnu Katsir pun menjelaskan, larangan berusaha dengan cara-cara yang batil dan tidak sesuai syariat seperti riba dan judi. Cara-cara lainnya yang masuk dalam kategori tersebut yakni dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Meski cara-cara tersebut secara lahiriah diakui hukum syara’. 

Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan, oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan bantuan kemudian memotongnya secara tidak sah merupakan perbuatan pengkhianatan terhadap amanah.  Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati  Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS al-Anfal :27). 

Pihak yang memotong dana atau uang bantuan dengan menggunakan kuitansi bodong pun disebut sebagai pelaku perbuatan ghulul (korupsi). “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan  dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”  (QS Ali Imran: 161). 

Penerima dana bantuan yang melaporkan atau menuliskan secara utuh seolah-olah tidak ada pemotongan padahal sudah dipotong merupakan kebohongan.  Karena itu, mencantumkan nilai berbeda di kuitansi dengan nilai sebenarnya disebut merupakan tanda orang munafik. Dalam satu hadis muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat.’ 

Pihak yang menerima dan menyetujui pemotongan bantuan dapat dikategorikan sebagai persekongkolan atau secara tidak langsung membeir bantuan untuk melakukan tindakan melawan hukum Allah. Perbuatan itu dilarang agama, sebagaimana firman Allah, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al Maidah: 2). 

Majelis Tarjih Muhammadiyah pun menjelaskan jika pemotongan bantuan dengan kuitansi bodong adalah termasuk perbuatan munkar yang dilarang agama. Perbuatan tersebut pun masuk dalam kategori korupsi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan korupsi atau ghulul sebagai sesuatu yang haram. Semua lapisan masyarakat pun berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik tersebut.Menghadapi perbuatan munkar seperti itu, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman, “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement