Rabu 24 Mar 2021 18:23 WIB

Berjalan Lambat, Integrasi Keuangan Digital Perlu Dipercepat

Ada peningkatan transaksi e-commerce, digital banking, dan transaksi uang elektronik.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Berjalan Lambat, Integrasi Keuangan Digital Perlu Dipercepat (Foto: Katadata)
Berjalan Lambat, Integrasi Keuangan Digital Perlu Dipercepat (Foto: Katadata)

Pandemi Covid-19 mengubah pola transaksi masyarakat secara drastis. Pembatasan mobilitas penduduk dan kesadaran untuk mengurangi transaksi tunai dalam proses jual beli mempercepat pertumbuhan transaksi digital.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Filianingsih Hendarta, mencatat adanya peningkatan signifikan dalam transaksi e-commerce, digital banking, dan transaksi uang elektronik selama masa pandemi.

Baca Juga: Gantikan LINK, Koin Digital Ini Masuk ke Daftar Top 10 Aset Kripto Terbesar

Berdasarkan data, transaksi e-commerce di triwulan IV 2020 mencapai Rp90,28 triliun atau meningkat sekitar 28%. Sementara itu, untuk digital banking mencapai 12,4% dengan secara tahunan tumbuh mencapai 41%.

"Sementara itu, kalau kita lihat di uang elektronik mengalami pertumbuhan yang besar secara Q+Q sebesar 18% dan secara year on year hampir 20%," jelas Filianingsih pada webinar Katadata Indonesia Data and Economic Conference 2021 bertajuk 'Payment System in Digital Era' pada Rabu (24/3/2021).

Ia pun optimis pertumbuhan transaksi digital akan makin naik seiring dengan percepatan pemulihan ekonomi nasional. "Adanya pelaksanaan vaksinasi dan digitalisasi, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi indonesia pada 2021 akan mampu bertumbuh 4,3-5,3%," tambahnya.

Walaupun perkembangan digitalisasi mengalami pertumbuhan yang pesat selama pandemi, bukan berarti tak ada tantangan yang menghampiri. Filianingsih mengatakan, hambatan itu muncul karena belum meratanya kegiatan ekonomi di Indonesia.

Menurutnya, pembentukan ekosistem menjadi kunci kolaborasi antara bank dan fintech, termasuk UMKM yang menjadi kekuatan utama ekonomi; bertujuan membawa 91,1 juta penduduk unbanked dan 62,9 juta UMKM ke dalam ekonomi dan keuangan formal secara sustainable melalui pemanfaatan.

"SDM (Sumber Daya Manusia) kekurangan tenaga kerja, pusat kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa Barat, khususnya Jakarta. Ini menyebabkan transaksi digital belum merata karena digitalisasi perlu dinavigasi melalui pendekatan kebijakan yang tidak bisa sektoral, tapi juga komprehensif dan struktural supaya transformasi digital ini mampu mengintegrasikan seluruh pelaku ekonomi," ucapnya.

Ekonomi digital pun mulai berhasil masuk ke banyak pelaku ekonomi termasuk UMKM. Hal tersebut diungkapkan oleh Presiden OVO, Karaniya Dharmasaputra, terdapat karakteristik yang penting bahwa sebagian besar merchant OVO didominasi oleh UMKM. "Hampir 900 ribu merchant kami 90%-nya itu UMKM. Di mana, ekosistem dari merchant UMKM ini sebetulnya bisa dimanfaatkan dengan sangat menarik oleh berbagai inisiatif. Jumlah pedagang di OVO pada 2020 mencapai 66%," kata Kara.

Ia menganggap, uang elektronik kini tidak hanya untuk sekadar membayar parkir saja, tapi juga bisa sebagai alat untuk mendorong pasar modal. Terbukti selama pandemi terjadi pertumbuhan yang luar biasa di reksa dana, investasi, dan Bareksa. Jadi, bermain investasi bisa dilakukan dengan uang elektronik.

"Hampir 55% di Bareksa, Reksadana yang membeli dana dengan uang elektronik. Ini bukti industri e-money sudah going beyond payment. Ini menunjukan ekosistem ekonomi seperti OVO dan e-money lain memiliki ekosistem yang cukup banyak, kita bisa memanfaatkan teknologi e-money ini untuk membantu memperbaiki UMKM kita. Ini potensi menarik dan penting dikembangkan terus ke depan," tuturnya.

Selain UMKM yang dapat mendongkrak ekonomi digital, kolaborasi dengan fintech juga tak kalah penting sehingga bank bisa melayani sebanyak-banyaknya dengan berkolaborasi bersama fintech. Director of Technology Information & Operation, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Indra Utoyo, berpendapat bahwa sistem pembayaran digital harus merujuk pada ekosistem kolaborasi dan UMKM.

"Dua hal pertama adalah open banking ini era kolaboratif ekonomi dan kita berkolaborasi secara masif dengan fintech atau digital player. Kita juga membangun kolaborasi secara masif, ada virtual account, ini akan menjadi pembayaran di masa depan. Kita bank mikro perlu melakukan pembayaran sebanyak-banyaknya dan semurah-murahnya, maka itu berkolaborasi dengan OVO dan teman-teman e-money lain perlu dilakukan," jelasnya.

Kolaborasi itu juga dilakukan oleh LinkAja yang merupakan layanan keuangan digital. Chief Technology Officer LinkAja, Rahmat Bagas Santoso, menjelaskan bahwa merchant yang telah dimiliki banyak dari UMKM. Selain itu, mereka juga mengaplikasikan keuangan syariah untuk beramal.

"Donasi ke masjid dengan elektronik syariah sebanyak 2,2 juta pengguna link syariah. Dari mulai zakat, masjid, jadi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kita berharap penetrasinya lebih cepat dan lebih baik karena pelayanan sesuai dibutuhkan oleh pasar. Saat ini, sudah 66 juta pengguna terdaftar," pungkasnya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement