Rabu 24 Mar 2021 16:08 WIB

Anak Perempuan 7 Tahun Jadi Korban Tewas Termuda di Myanmar

Anak perempuan 7 tahun ditembak tentara Myanmar di rumahnya

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Seorang pria berlari melewati barikade jalan dan membakar puing-puing Senin, 22 Maret 2021, di Mandalay, Myanmar. BBC mengatakan Senin bahwa seorang jurnalis dari layanan berbahasa Burma dibebaskan oleh pihak berwenang di Myanmar tetapi tidak memberikan rincian, karena pengunjuk rasa di negara Asia Tenggara itu melanjutkan gerakan pembangkangan sipil mereka yang luas terhadap kudeta militer bulan lalu.
Foto: AP/STL
Seorang pria berlari melewati barikade jalan dan membakar puing-puing Senin, 22 Maret 2021, di Mandalay, Myanmar. BBC mengatakan Senin bahwa seorang jurnalis dari layanan berbahasa Burma dibebaskan oleh pihak berwenang di Myanmar tetapi tidak memberikan rincian, karena pengunjuk rasa di negara Asia Tenggara itu melanjutkan gerakan pembangkangan sipil mereka yang luas terhadap kudeta militer bulan lalu.

IHRAM.CO.ID, MANDALAY -- Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun tewas usai petugas keamanan melepaskan tembakan untuk membubarkan unjuk rasa di Kota Mandalay. Anak perempuan itu korban termuda kekerasan militer dalam menindak pengunjuk rasa anti-kudeta.

Pada Myanmar Now, saudarinya mengatakan Khin Myo Chit sedang berada di pangkuan ayah mereka ketika tentara masuk ke rumah mereka dan mencoba menembak ayahnya. Junta militer tidak menanggapi permintaan komentar mengenai peristiwa tersebut.

Baca Juga

Saat ini unjuk rasa kerap berakhir dengan aksi kejar-mengejar mematikan antara aktivis prodemokrasi dengan tentara. Para aktivis pun mengganti taktiknya dengan menggelar aksi hening. "Tidak keluar rumah, tidak ada toko yang buka, tidak bekerja, semuanya tutup, hanya untuk satu hari," kata ilustrator dan aktivis, Nobel Aung, Rabu (24/3).

Berdasarkan unggahan di media sosial banyak usaha mulai dari jasa antar-jemput hingga apotek mengatakan akan menutup toko mereka. Masyarakat internasional telah mengecam kudeta 1 Februari karena tidak hanya memperlambat transisi Myanmar menuju negara demokrasi tapi militer juga menggunakan kekerasan mematikan untuk membungkam oposisi yang menginginkan pemerintah sipil.

Militer berusaha membenarkan kudeta dengan mengklaim pemilu yang dimenangkan partai National League for Democracy (NLD) November 2020 lalu diwarnai kecurangan. Komisi pemilihan umum sudah membantah klaim tersebut. Militer menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan pemimpin-pemimpin NDL lainnya.

Juru bicara junta militer Myanmar Zaw Min Tun mengatakan jumlah pengunjuk rasa yang tewas dalam gelombang demonstrasi menentang kudeta sebanyak 164 orang. Sementara organisasi aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) mengatakan setidaknya 275 orang.

Pernyataan Zaw Min Tun ini disampaikan satu hari setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi pada kelompok atau individu yang terlibat dalam kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Zaw Min Tun menyalahkan pengunjuk rasa atas pertumpahan darah ini. Ia mengatakan tidak hanya pengunjuk rasa tapi sembilan anggota pasukan keamanan juga tewas dalam bentrokan-bentrokan yang terjadi selama unjuk rasa.

Zaw Min Tun mengatakan kematian-kematian itu disebabkan aksi mogok kerja yang membuat rumah sakit tidak beroperasi secara penuh. Ia menyebutkan aksi mogok kerja tersebut 'tidak bijaksana dan etis'. Aktivis demokrasi kerap menggelar aksi mogok kerja yang diikuti pegawai negeri sipil dan petugas kesehatan. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement