Selasa 23 Mar 2021 18:47 WIB

Rusia dan China Bersatu Serukan KTT DK PBB

Rusia dan China sama-sama menjadi sasaran sanksi Barat.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Sidang DK PBB (ilustrasi).
Foto: Republika/Subroto
Sidang DK PBB (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Rusia dan China pada Selasa (23/3) sepakat untuk menggelar konferensi tingkat tinggi (KTT) bagi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB). Ini tercetus di tengah turbulensi politik global yang meningkat.

 

Baca Juga

Keduanya menyerukan pertemuan puncak PBB dalam pernyataan bersamanya setelah pembicaraan antara Menteri Luar Cina Wang Yi atas kunjungan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Guilin, China, Senin (22/3).

"Pada saat gejolak politik global meningkat, pertemuan puncak anggota tetap Dewan Keamanan PBB sangat diperlukan untuk menjalin dialog langsung tentang cara-cara untuk menyelesaikan masalah bersama umat manusia demi kepentingan menjaga stabilitas global," kata pernyataan yang dipublikasikan di Situs web Kementerian Luar Negeri Rusia dikutip laman Channel News Asia, Selasa.

Hubungan Rusia dan China dengan Barat kian tegang. Moskow meyakini Amerika Serikat (AS) bertindak dengan cara yang merusak.

Moskow memang telah lama secara sepihak mendorong KTT seperti ini. Mengutip kantor berita TASS, Menlu Lavrov mengatakan, bahwa Moskow dan Beijing sama-sama tidak senang dengan perilaku AS. Washington mengandalkan aliansi militer dan politik era Perang Dingin untuk mencoba menghancurkan arsitektur hukum internasional.

Memulai perjalanan dua hari ke China pada Senin, Lavrov mengeluarkan seruan kepada Moskow dan Beijing untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS. Pernyataan bersama Selasa itu mendesak negara-negara lain untuk menahan diri dari campur tangan dalam urusan domestik Rusia dan China.

Lavrov mengatakan Rusia dan Cina menganggap sanksi Eropa dan Barat tidak dapat diterima. Pada Senin (22/3), AS, Uni Eropa, Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat China atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement