Selasa 23 Mar 2021 16:33 WIB

Uni Eropa Berlakukan Sanksi Terhadap Militer Myanmar

Sanksi itu termasuk diperuntukkan bagi Jenderal Min Aung Hlaing.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
 Orang-orang membawa demonstran yang terluka selama protes menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Orang-orang membawa demonstran yang terluka selama protes menentang kudeta militer di Mandalay, Myanmar, 22 Maret 2021. Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap individu yang terlibat dalam kudeta dan penindasan terhadap para pendemo, Senin (22/3) waktu setempat. Keputusan memberikan sanksi ini merupakan tanggapan negara-negara di blok UE yang paling signifikan sejak penggulingan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.

UE menjatuhkan sanksi kepada 11 sasaran. Sanksi itu termasuk diperuntukkan bagi Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar dan kepala junta yang telah mengambil alih kekuasaan.

Baca Juga

UE sudah memiliki embargo senjata terhadap Myanmar. Pihaknya juga telah menargetkan beberapa pejabat militer senior sejak 2018.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman Heiko Maas mengatakan kepada wartawan, bahwa penindasan militer Myanmar terhadap pendemo telah mencapai tingkat yang tak tertahankan. Langkah-langkah yang lebih kuat diharapkan segera setelah blok tersebut bergerak untuk membidik bisnis yang dijalankan oleh militer.

Sementara itu, Washington telah memberikan sanksi kepada Min Aung Hlaing. Pengumuman baru pada Senin waktu setempat dalam memberlakukan sanksi memperluas daftar sanksi AS terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kudeta diklaim militer tidak melanggar hukum.

AS juga menargetkan polisi senior Than Hlaing dan perwira militer Aung Soe, serta dua divisi Angkatan Darat Burma, Infanteri Ringan ke-33 dan Infanteri Ringan ke-77. Menlu AS Anthony Blinken mengatakan anggota Divisi 33 telah melepaskan tembakan langsung ke kerumunan di Mandalay.

"Kedua unit tersebut adalah bagian dari "strategi sistemik yang direncanakan oleh pasukan keamanan untuk meningkatkan penggunaan kekuatan mematikan," katanya.

Tidak ada tanggapan segera dari junta, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh oleh kecaman internasional atas tindakannya. Namun pada Selasa juru bicara junta mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan bahwa pihaknya menyesali atas terbunuhnya pendemo dalam gelombang akasi massa yangn memprotesnya.

Sementara itu, Menlu Singapura Vivian Balakrishnan akan mengunjungi Malaysia pada Selasa setelah singgah di Brunei Darussalam pada Senin. Setelah dari Malaysia, Menlu Balakrishnan menuju ke Indonesia akhir pekan ini.

Malaysia dan Indonesia sedang mengupayakan pertemuan tingkat tinggi membahas krisis politik di Myanmar. Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada 8 November lalu.

Militer menahan pemimpin sipil Myanmar sekaligus pemimpin partai pemenang pemilu, National League for Democracy (NLD) Aung San Suu Kyi. Militer juga menahan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah petinggi lain.

Organisasi pemantau independen Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) pada Selasa (23/3) kembali memverifikasi sekurangnya 261 orang tewas sejak unjuk rasa dimulai 1 Februari. Namun, AAPP mengatakan, angka sebenarnya bisa lebih tinggi.

AAPP juga menyebutkan, 2.665 orang dipenjara atau didakwa sejak kudeta. Sedangkan 2.290 orang lainnya masih ditahan atau menanti putusan pengadilan.

Militer akhirnya buka suara pada Selasa dengan mengatakan, turut menyesal atas jatuhnya korban jiwa dalam aksi gelombang massa melawan pihaknya. Namun, dalam pernyataanya junta tetap menyalahkan pendemo.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement