Ahad 21 Mar 2021 20:00 WIB

Pemerintah Diminta Upayakan Vaksin Halal

Ada dinamika di antara para ulama tentang Fatwa MUI soal vaksin AstraZeneca

Rep: Ali Yusuf, Umar Mukhtar/ Red: A.Syalaby Ichsan
 Seorang pria menerima suntikan vaksin COVID-19 saat melakukan vaksinasi di Denpasar, Bali, Indonesia, 09 Maret 2021. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah menyetujui vaksin AstraZeneca COVID-19 untuk penggunaan darurat pada 09 Maret 2021.
Foto: EPA-EFE/MADE NAGI
Seorang pria menerima suntikan vaksin COVID-19 saat melakukan vaksinasi di Denpasar, Bali, Indonesia, 09 Maret 2021. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia telah menyetujui vaksin AstraZeneca COVID-19 untuk penggunaan darurat pada 09 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad mendorong pemerintah untuk tetap berupaya menyediakan vaksin halal dan suci sebagaimana yang diproduksi Sinovac. Meski demikian, Dadang memahami dan mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan penggunaan vaksin AstraZeneca meski mengandung unsur tripsin atau babi. 

"Pemerintah tetap harus berusaha mendatangkan vaksin yang murni halal dan suci, termasuk yang sedang dibuat di Indonesia, vaksin merah putih, saya kira bagus itu," ucap dia saat dihubungi Republika, Ahad (21/3).

PP Muhammadiyah saat ini belum mengeluarkan keputusan resmi soal vaksin AstraZeneca. Dia menjelaskan, secara pribadi dia mendukung fatwa MUI yang dikeluarkan dalam keadaan darurat. “Karena kita pilihannya masih sedikit, maka MUI memberikan dispensasi untuk digunakan," tambah dia.

Terkait adanya masyarakat yang enggan divaksin AstraZeneca karena prinsip kehati-hatian, Dadang berpendapat, sikap tersebut tetap harus dihormati. Hanya saja, Dadang mengingatkan, MUI adalah lembaga yang telah disepakati bahwa keberadaannya antara lain untuk mengeluarkan fatwa bagi umat Islam.  Karena itu, dia menuturkan, MUI tentu punya kehati-hatian dalam mengeluarkan fatwa.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, KH Abdul  Muqsit Ghazali mengatakan, pihaknya belum membahas kebolehan vaksin AstraZeneca digunakan. Dia pun tidak bisa mengatakan vaksin yang mengandung unsur haram itu halal digunakan. "Belum dibahas," kata dia.

Menurut dia, ada dinamika di antara para ulama yang mempermasalahkan Fatwa MUI yang menghalalkan vaksin Astrazeneca itu.  "Tapi sudah ada sebagian kiai yang mempermasalahkan fatwa MUI tersebut," jelas dia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelumnya mengeluarkan fatwa boleh menggunakan Vaksin AstraZeneca dengan pertimbangan keadaan darurat. Berdasarkan hasil kajian Komisi Fatwa MUI vaksin Astrazeneca itu mengandung tripsin (enzim babi) yang berdasarkan syariat tak boleh digunakan.

"Sebelum dikeluarkan fatwa setelah melakukan kajian hasil audit sesuai standar oprasional prosedur yang berlangsung selama ini di Majelis Ulama Indonesia menemukan ada unsur tripsin," kata Sekjen MUI KH Amirsyah Tambunan, kemarin.

Amirsyah mengatakan, setelah dinyatakan vaksin Astrazeneca ada enzim babi, Komisi Fatwa MUI membahasnya disidang fatwa untuk diputuskan boleh atau tidaknya vaksin ini digunakan. Sidang fatwa memutuskan dalam keadaan darurat vaksin ini boleh dimanfaatkan. "Setelah itu dibawa ke sidang komisi fatwa hasil fatwanya boleh digunakan," ujar dia.

Dia pun berpendapat, penggunaan vaksin halal sinovac sudah dilakukan, namun jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim."Vaksin halal sinovac kan sudah dilakukan, dan ada keterbatasan artinya nemang karena ada kekurangan maka Astrazeneca ini dalam kondisi darurat boleh dipergunakan sampai tersedianya vaksin yang halal," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement