Ahad 21 Mar 2021 19:36 WIB

Israel tak Caplok Tepi Barat Tanpa Persetujuan AS

Netanyahu menyadari Biden menentang rencana aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
Foto: AP/Reuven Castro/Walla Pool
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negaranya tidak akan mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat jika tak memperoleh dukungan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. 

"Tanpa persetujuan presiden AS, saya tidak akan menerapkan kedaulatan (atas Tepi Barat), dan saya telah mengatakannya sejak saat pertama," kata Netanyahu kepada Channel 12 dalam wawancara yang disiarkan Sabtu (20/3) malam.

Baca Juga

Netanyahu menyadari Biden menentang rencana aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat. Kendati demikian, dia menyebut skema tersebut bakal tetap berjalan. "Saya masih berniat melakukannya," ujar Netanyahu tanpa memberikan batas waktu untuk proses pencaplokan.

Netanyahu telah merencanakan pencaplokan sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki pada Juli tahun lalu. Rencana itu disusun berdasarkan kesepakatan dengan mitra koalisinya, yakni Menteri Pertahanan Benny Gantz. 

Kendati demikian, Netanyahu gagal melaksanakan rencana tersebut. Dia menghadapi perbedaan dengan Gantz yang menginginkan pemerintah lebih fokus menangani pandemi Covid-19 daripada pencaplokan Tepi Barat. 

Pemerintahan mantan presiden AS Donald Trump juga tak begitu sejalan dengan rencana pencaplokan. Bulan lalu AS memperingatkan pencaplokan tanah dan kegiatan permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki dapat memperburuk ketegangan. Hal itu pun berpotensi menghambat proses solusi dua negara Israel-Palestina.

"Kami percaya sangat penting untuk menahan diri dari langkah sepihak yang memperburuk ketegangan dan merusak upaya untuk memajukan negosiasi tentang solusi dua negara, termasuk aneksasi tanah, kegiatan permukiman, dan penghancuran properti," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, dikutip laman Middle East Monitor pada 13 Februari lalu.

Meski AS telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Price menekankan status akhir dari kota tersebut akan ditetapkan dalam negosiasi. "Status akhir Yerusalem, pada kenyataannya, merupakan masalah negosiasi status akhir. Ini telah menjadi kebijakan lama AS," ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement