Senin 22 Mar 2021 05:25 WIB

Sampai Kapan Kita Kuat Bertahan di Rumah?

Menurut Menkes, pandemi butuh lima hingga 10 tahun untuk tuntas.

Warga melintas di depan mural bertema COVID-19 di Kemplayan, Solo, Jawa Tengah. Masyarakat Indonesia sudah setahun menjalani rutinitas bekerja dari rumah, belajar dari rumah, termasuk beribadah dari rumah.
Foto: ANTARA/Mohammad Ayudha
Warga melintas di depan mural bertema COVID-19 di Kemplayan, Solo, Jawa Tengah. Masyarakat Indonesia sudah setahun menjalani rutinitas bekerja dari rumah, belajar dari rumah, termasuk beribadah dari rumah.

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Pekan lalu, saya dan lima ribu jurnalis lainnya mendapatkan suntikan dosis kedua vaksin Covid-19. Usai divaksinasi, sambil menunggu teman yang masih di dalam, kami (saya dan rekan-rekan satu kantor) berbincang dengan salah satu atasan.

Sebuah pertanyaan terlontar. Apakah setelah mendapatkan vaksin dosis kedua dan menunggu 28 hari setelah itu (agar vaksinasi bisa bekerja optimal, tubuh membutuhkan waktu 28 hari setelah komplet mendapatkan dua dosis vaksin), maka kami akan bekerja kembali ke kantor?

Baca Juga

Perlu diketahui sejak Presiden Joko Widodo mengutarakan seruan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, awak redaksi Republika mengoptimalkan bekerja dari rumah. Atasan saya lalu menjawab, kayaknya tidak. Maksud dia, sangat mungkin kantor memilih tetap mengoptimalkan bekerja dari rumah.

Alasan dia, dunia mungkin masih harus berhadapan dengan pandemi hingga beberapa tahun ke depan. Sehingga kebijakan untuk berusaha mengoptimalkan bekerja dari rumah, sangat mungkin masih dipilih demi faktor kesehatan bersama.

Faktanya, menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, masa pandemi tidak mungkin selesai dalam setahun. "Karena pandemi tidak ada yang selesai setahun. Selesai pasti lima sampai 10 tahun, secara ilmiah. Jadi tolong taati protokol kesehatan," kata dia, dalam webinar Kagama bertajuk 'Aku Siap Divaksin', Ahad (14/3).

Menurut Budi, belajar dari pandemi sebelumnya seperti Black Death (Wabah Hitam) di Eropa tahun 1300 yang menyebabkan 100 juta orang meninggal dunia, cara mengatasi pandemi tetap sama. Yaitu mengurangi laju penularan dari virus-virus tersebut. Bila populasi yang tertular jumlahnya di atas kemampuan, maka akan terjadi bencana ke fasilitas kesehatan yang menangani wabah.

"Tapi kalau yang ditulari masih di bawah kemampuan fasilitas kesehatan kita melayaninya, umumnya pandemi ini fatality-nya tidak setinggi yang dibayangkan. Jadi orang yang terkena seharusnya sembuh," kata dia.

Untungnya pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, memiliki pandangan berbeda. Berdasarkan pengalamannya, pandemi bisa saja lebih singkat dari itu. Katanya, pengalaman sebagai epidemiolog sebagai 20 tahun menemukan ada pandemi yang selesai 14 hingga 19 bulan. SARS adalah salah satunya. Untuk Covid-19 ia memperkirakan selesai tiga sampai empat tahun.

Tapi kecepatan penuntasan pandemi memang sangat bergantung pada pemerintah. "Ini tergantung pemerintahnya strateginya seperti apa. Benua Australia, Eropa, Amerika dan Asia Timur saat ini terkendali. Sehingga mereka akan duluan selesai pandeminya. Indonesia jangan mau kalah harus miliki pergerakan yang cepat," kata dia.

Lantas bagaimana dengan vaksinasi? Bukan vaksinasi salah satu tujuannya adalah mengembalikan kehidupan seperti dulu, yaitu masyarakat bisa kembali keluar rumah, anak-anak bisa kembali sekolah, ekonomi bisa berputar lagi?

Jangan lupa, vaksinasi baru menyentuh segelintir populasi. Mengapa saya bilang segelintir, karena target vaksinasi penduduk Indonesia untuk mencapai herd immunity adalah 181 juta jiwa. Berdasarkan data yang diambil dari akun Twitter Kemenkes pada Sabtu (19/3), jumlah masyarakat yang sudah mendapatkan suntikan dosis pertama sebanyak 4,959 juta jiwa. Sedangkan masyarakat yang sudah mendapatkan dosis lengkap sebanyak 2,068 juta jiwa.

Artinya, dari sasaran vaksinasi tahap pertama dan kedua yang targetnya adalah 40,34 juta jiwa, baru 5,13 persen sasaran yang mendapatkan vaksin dua dosis. Saat ini jalan menuju herd immunity masih panjang.

Berarti masyarakat masih harus bersiap diri bertahan lebih lama di rumah. Mengajarkan anak-anaknya sekolah dari rumah lebih lama lagi, beribadah lebih banyak lagi di rumah, termasuk mencoba untuk bertahan bekerja dari rumah bagi yang pekerjaannya memungkinkan. Upaya tersebut, menurut saya, akan membantu mereka yang memang harus keluar rumah demi bekerja.

Saya tapi tidak melihat keharusan bertahan di rumah sebagai sesuatu yang sia-sia meski saya sudah divaksin. Justru saya melihatnya, saya diberi momen untuk bisa lebih banyak bersama keluarga. Di sinilah inovasi kita sebagai manusia diuji, dan saya sudah melihat banyak manusia banyak keluarga yang bisa bertahap bahkan keluar sebagai ‘juara’ di tengah pandemi.

Buktinya, makin banyak orang mahir berbisnis. Tokopedia misalnya mencatat jumlah seller naik dari  7,2 juta pada Januari 2020 menjadi lebih dari 10 juta pada Maret 2021. Saya yakin kenaikan tersebut juga terjadi di platform e-commerce lain.

Ya betul, bisnis memang slow bagi beberapa pihak. Saya yang punya usaha kecil-kecilan laundry kiloan saja merasakan penurunan omzet hingga 50 persen sejak pandemi. Tapi, saya masih bisa bertahan, Alhamdulillah belum pernah tidak bisa menggaji karyawan.

Memang saya termasuk yang beruntung. Pandemi di Indonesia telah menyebabkan 2,76 juta orang masuk kategori miskin. Jika dibandingkan September 2019, angka kemiskinan di Indonesia naik hampir 1 persen pada September 2020, membuat jumlah warga miskin mencapai hampir 28 juta orang atau 10,19 persen.

Kemiskinan tersebut mengakibatkan, pertumbuhan bayi baru lahir dan batita juga mengalami kendala. Stunting yang sebelumnya saja sudah sulit ditekan pemerintah, kini akan menjadi tantangan yang makin sulit lagi ke depan. Bila saat ini 27 persen dari jumlah bayi yang lahir di Indonesia mengalami stunting, maka ke depan angkanya bisa terus bertambah. Belum lagi masalah kesehatan mental masyarakat akibat pandemi.

Bertahan di rumah memang tidak mudah. Semoga pandemi ini bisa segera berlalu. Semoga pemerintah dan masyarakat bisa secara kolektif terus mengulurkan bantuannya bagi mereka yang butuh dibantu selama era bertahan dari rumah ini.

*penulis adalah redaktur di Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement