Ahad 21 Mar 2021 00:32 WIB

Turki Keluar dari Perjanjian Internasional Lindungi Wanita

Turki dinilai belum berbuat cukup untuk mencegah femisida dan kekerasan perempuan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Perempuan rentan jadi korban kekerasan
Foto: Republika
Perempuan rentan jadi korban kekerasan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menarik Turki keluar dari perjanjian internasional yang dirancang untuk melindungi perempuan. Langkah tersebut sudah didorong sejak tahun lalu dengan isu cara terbaik mengekang kekerasan yang meningkat terhadap perempuan.

"Jaminan hak-hak perempuan adalah peraturan yang ada saat ini dalam anggaran rumah tangga kita, terutama Konstitusi kita. Sistem peradilan kami dinamis dan cukup kuat untuk menerapkan peraturan baru sesuai kebutuhan," kata Menteri Kebijakan Keluarga, Perburuhan, dan Sosial, Zehra Zumrut di Twitter, tanpa memberikan alasan untuk meninggalkan perjanjian itu.

Baca Juga

Kesepakatan Dewan Eropa yang dibentuk di Istanbul, berjanji untuk mencegah, menuntut, dan menghapus kekerasan dalam rumah tangga dan mempromosikan kesetaraan. Turki yang menandatangani perjanjian pada 2011 telah mengalami peningkatan jumlah femisida tahun lalu.

Banyak kaum konservatif di Turki mengatakan, pakta itu merusak struktur keluarga dan mendorong kekerasan. Mereka juga memusuhi prinsip kesetaraan gender dalam Konvensi Istanbul dan melihatnya mempromosikan homoseksualitas, mengingat prinsip non-diskriminasi atas dasar orientasi seksual.

Kritikus penarikan dari pakta mengatakan itu akan membuat Turki semakin keluar dari langkah-langkah dengan nilai-nilai Uni Eropa, yang tetap menjadi kandidat untuk bergabung. Mereka berpendapat kesepakatan itu, dan undang-undang yang disetujui setelahnya, perlu diterapkan lebih ketat.

Padahal, sebelumnya Erdogan mengutuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk mengatakan bulan ini bahwa pemerintahannya akan bekerja untuk memberantas kekerasan terhadap perempuan. Namun, para kritikus mengatakan pemerintahnya belum berbuat cukup untuk mencegah femisida dan kekerasan dalam rumah tangga.

Turki tidak menyimpan statistik resmi tentang femisida. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan 38 persen perempuan di Turki menjadi sasaran kekerasan dari pasangan seumur hidup, dibandingkan dengan sekitar 25 persen di Eropa.

Ankara telah mengambil langkah-langkah seperti menandai individu yang diketahui melakukan kekerasan. Pemerintah pun membuat aplikasi ponsel pintar bagi perempuan untuk memberi tahu polisi, yang telah diunduh ratusan ribu kali.

Keputusan Erdogan memerangi kekerasan terhadap perempuan muncul setelah dia meluncurkan reformasi peradilan bulan ini yang menurutnya akan meningkatkan hak dan kebebasan, dan membantu memenuhi standar UE. Turki telah menjadi kandidat untuk bergabung dengan blok itu sejak 2005, tetapi pembicaraan akses telah dihentikan karena perbedaan kebijakan dan catatan hak asasi manusia Ankara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement