Jumat 19 Mar 2021 15:20 WIB

Buruknya Kepatuhan Pajak Vs Kemurahan Hati Pemerintah

OECD menilai kepatuhan pajak RI buruk dan terlalu murah hati dalam hal diskon pajak.

Pesepeda melintas di depan tulisan Pajak Kuat Indonesia Maju di Jakarta Pusat, Sabtu (19/12/2020). OECD menilai kepatuhan pajak di Indonesia buruk. (ilustrasi)
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Pesepeda melintas di depan tulisan Pajak Kuat Indonesia Maju di Jakarta Pusat, Sabtu (19/12/2020). OECD menilai kepatuhan pajak di Indonesia buruk. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Novita Intan

Ekonomi Indonesia kala pandemi menjadi sorotan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Salah satu yang disorot adalah rendahnya pendapatan perpajakan Indonesia dibandingkan negara anggota G20 lainnya.

Baca Juga

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengatakan Indonesia memiliki kepatuhan pajak yang buruk dan terlalu murah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak. Di sisi lain, negara sedang menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk menangani pandemi.

“Dengan kurang dari delapan juta orang yang membayar pajak penghasilan (PPh), artinya rasio perpajakan Indonesia terhadap PDB hanya 11,9 persen pada 2018, angka tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara OECD sebesar 34,3 persen,” ujarnya saat acara Peluncuran Survei Ekonomi OECD Indonesia, Kamis (18/3) malam.

Tak hanya itu, OECD juga menilai, pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan melakukan pengurangan perpajakan dalam jangkauan yang luas. Dia pun menilai usai perekonomian Indonesia terlepas dari resesi, otoritas fiskal perlu lebih mendorong penerimaan perpajakan.

Gurria pun memberikan rekomendasi pemerintah agar nantinya setelah perekonomian Indonesia mulai pulih dari resesi, otoritas fiskal perlu mendorong penerimaan perpajakan. Salah satunya sektor properti yang dinilai memiliki kontribusi cukup rendah hanya dua persen dari keseluruhan pendapatan pajak.

Adapun jumlah tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata kontribusi sektor properti terhadap penerimaan perpajakan negara OECD sebesar enam persen. OECD pun mendorong pemerintah untuk meninjau kembali persoalan ini.

"Hal itu akan membantu untuk menyelesaikan masalah kesenjangan yang terjadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kondisi keuangan negara," jelasnya.

Menurut Gurria, jika penerimaan pajak bisa dimaksimalkan, maka hal tersebut akan sangat membantu kondisi keuangan negara. Tak hanya dari sektor properti, OECD menilai pemerintah juga perlu meningkatkan tarif pajak sektor lain, misalnya produk tembakau.

“Meningkatkan kepatuhan pajak akan sangat membantu negara meningkatkan pendapatan. Menutup celah dan meningkatkan kepatuhan terhadap pajak penjualan juga bisa menjadi salah satu cara untuk membantu menopang pendapatan,” ucapnya.

“Hal itu akan membantu untuk menyelesaikan masalah kesenjangan yang terjadi sekaligus memberikan kontribusi terhadap kondisi keuangan negara,” ujar Gurria.

Merespons OECD, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan berusaha menaikkan tax ratio setelah nantinya perekonomian pulih kembali pascadihantam pandemi Covid-19. Adapun, cara yang akan ditempuh yaitu dengan melakukan reformasi perpajakan agar penerimaan terus meningkat.

“Tax ratio perlu ditingkatkan dan reformasi perlu dilakukan agar kita bisa memperlebar dan memperdalam tax base,” ujarnya.

Sri Mulyani memerinci, reformasi perpajakan yang dimaksud meliputi bidang pelayanan organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data, proses bisnis, serta peraturan pajak. Sri Mulyani berharap hal tersebut bisa menjadi solusi atas pelebaran defisit APBN yang kini dialami Indonesia.

Pemerintah berencana mengembalikan defisit APBN ke level tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Seperti diketahui, defisit APBN melebar enam persen persen terhadap PDB pada 2020.

"Meskipun emergency law Indonesia mengizinkan kita defisit lebih dari tiga persen tapi mulai 2021 dan 2022 kita perlu continue supporting, perlu konsolidasi fiskal,” ujarnya.

Dari sisi lain, Sri Mulyani juga punya rencana besar untuk menaikkan penerimaan yaitu melalui pemungutan pajak digital. Menurutnya, semua negara tidak dapat terhindar dari transformasi digital, termasuk penetrasi atau berbagai aktivitas ekonomi melalui platform digital.

“Namun tingkat dunia belum ada kesepakatan mengenai kebijakan pajak yang transparan dan adil,” ucapnya.

Ke depan Sri Mulyani pun berharap agar negara-negara yang tergabung dalam G20 bisa segera mencapai kesepakatan mengenai pengenaan pajak digital. Menurutnya, potensi penerimaan dari penerapan pajak digital sangat besar khususnya bagi Indonesia.

“Diharapkan di forum G20 bisa mencapai kesepakatan soal digital taxation secara adil,” ucapnya.

photo
Rasio pajak Indonesia rendah dan penerimaan pajak turun - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement