Jumat 19 Mar 2021 01:00 WIB

Prof Aman: Anak Pendek Belum Tentu Stunting

Aman mengatakan tidak semua anak pendek tergolong stunting. Jangan salah interpretasi

Rep: Dessy Susilawati/ Red: Yudha Manggala P Putra
Pengendara motor melintas di dekat mural stunting di Jakarta, Rabu (16/12/2020). Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan berdasarkan data saat ini angka stunting di Indonesia masih sebesar 27,9 persen, sementara target angka stunting yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebesar 14 persen pada 2024.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Pengendara motor melintas di dekat mural stunting di Jakarta, Rabu (16/12/2020). Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan berdasarkan data saat ini angka stunting di Indonesia masih sebesar 27,9 persen, sementara target angka stunting yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebesar 14 persen pada 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang sedang menjadi prioritas Pemerintah Indonesia. Hanya saja, menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Aman B Pulungan Sp.A (K), masih ada salah interpretasi soal stunting. Itu berdampak pada intervensinya.

“Stunting di Sustainable Development Goals (SDGs) sebenarnya jelas target-targetnya dan pengertiannya juga jelas. Hanya memang pengertian stunting ini ketika diimplementasikan, ada perbedaan pendapat. Salah satunya dikaitkan dengan makan-makan, dan akhirnya dianggap makanan akan membuat orang tinggi,” ujar pria yang baru saja dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dalam wawancara virtual, belum lama ini.

Ia mengatakan hal yang ditakutkan adalah salah interpretasi soal stunting. Mereka yang dikatakan stunting oleh pemerintah adalah semua anak pendek, baik pendek normal, pendek kurus ataupun pendek gemuk. Padahal tidak semua anak pendek dikatakan stunting.

Stunting adalah kondisi anak yang pendek disertai dengan kondisi malnutrisi. Sedangkan anak pendek bisa disebabkan karena berbagai sebab. Misalnya kelainan hormon, masalah kromosom, kelainan tulang, atau faktor genetik karena orang tuanya juga berpostur pendek. Jadi, jika orang tuanya pendek, tidak mungkin anaknya tinggi.

“Anak stunting pasti pendek, tapi tidak semua anak pendek tergolong stunting. Anak stunting itu pendek dan kekurangan gizi. Kalau anak pendek status gizinya baik, mereka tidak stunting. Harusnya yang kita urus hanya yang pendek kurus. Inilah yang sebetulnya potensi yang kita anggap stunting,” jelasnya.

Baca juga : Penyintas Alami Long Covid Mengaku Sembuh Usai Vaksinasi

Menurutnya, kalau pemerintah salah interpretasi seperti ini, maka negara akan kehilangan bujet. Jika Indonesia kehilangan banyak uang, kalau itu berhasil, tidak masalah. Di sisi lain, kita juga akan membuat anak kita jadi obesitas dan juga penyakit metabolik. “Karena anak-anak normal juga dibuat menjadi gemuk. Mereka diberi makan berlebihan.”

Di Indonesia anak dengan berat badan lahir rendah sekitar di bawah 10 persen, tapi panjang badan rendah sekitar 22 persen. Ia mengatakan anak-anak ini akan tetap pendek sampai usia 3 sampai 4 tahun.

“Kalau mereka dianggap stunting dan diberi makan berlebihan, mereka berisiko menjadi metabolik syndrome dan lainnya. Ini bahaya sekali kalau kita tidak menilai ini betul-betul secara komprehensif dan pengertiannya dengan betul,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement